Berbagai cara dilakukan untuk menahan laju perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca. Untuk pertama kalinya, para ilmuwan berhasil menyuntikkan karbon dioksida (CO2) ke dalam tanah basal vulkanik dan mengubahnya menjadi padat. Keberhasilan ini tentu saja menawarkan cara yang lebih menjanjikan untuk menyimpan gas rumah kaca — yang dikaitkan dengan perubahan iklim — di dalam tanah.

Para ilmuwan mampu memompa emisi karbon ke dalam perut bumi dan mengubah gas menjadi padat untuk disimpan selama beberapa bulan. Metode ini  secara radikal lebih cepat dari prediksi sebelumnya yang menunjukkan bahwa proses tersebut dapat membutuhkan waktu ratusan atau bahkan ribuan tahun.

Hasil penelitian tersebut seperti dikutip kantor berita AFP, dipublikasikan dalam Jurnal Science,  Kamis (9/6).  Penelitian merupakan bagian dari proyek percontohan yang diluncurkan pada 2012 di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi  (PLTP) Hellisheidi, Islandia. Pembangkit listrik tenaga panas bumi Hellisheidi memiliki kapasitas 303 MW yang merupakan pembangkit tenaga listrik tenaga panas bumi terbesar di dunia.

Helisindi

Para ilmuwan dan insinyur melakukan percobaan dengan meng CO2  dan gas-gas lain dengan air dan kemudian memasukkannya ke dalam tanah lewat pipa. Mereka ingin mengembangkan metode untuk menyimpan gas CO2 secara aman yang jika tidak disimpan akan menuju atmosfer dan menyumbang pemanasan global.

Pembangkit Hellisheidi  memompa air yang dipanaskan secara vulkanik untuk menggerakkan turbin. Proses itu menghasilkan 40.000 ton CO2 per tahun, hanya 5%  dari emisi pembangkit seukuran serupa yang berbahan bakar batu bara. Selama bertahun-tahun para peneliti menyarankan pembatasan pemanasan global menggunakan penangkap karbon dan metode pemerangkapan semacam itu, tapi mengembangkan teknologi itu terbukti tidak mudah.

Islandia, negara pulau kecil di Samudra Atlantik bagian utara yang dekat dengan kutub utara, dapat menjadi referensi bagi pengembangan energi ramah lingkungan. Dengan luas daratan  sekitar 103 ribu kilometer persegi,  atau  sekitar 5,4% luas wilayah darat Indonesia, dan dihuni  325 ribu jiwa, negara mungil ini  tercatat memiliki konsumsi energi tertinggi di dunia, yakni sebanyak 5.837 watt/orang. Negara adidaya  Amerika Serikat saja konsumsi listriknya hanya 4.002 watt/orang dan Inggris 622 watt/orang.

Hebatnya,  75% listrik untuk penghangat ruangan disuplai dari satu pembangkit listrik tenaga air (Kárahnjúkar) dan 25% dari dua pembangkit listrik tenaga panas bumi (Hellisheidi dan Nesjavellir). Air dan panas bumi mensuplai 85% kebutuhan energi masyarakat Islandia. Sebagian besar energi air dan panas bumi Islandia belum dieksplorasi karena tidak ada kebutuhannya.

“Energi panas bumi telah banyak membantu Islandia untuk tetap survive,” ujar  Presiden Ólafur Ragnar Grímsson, saat berbicara pada World Geothermal Congress (WGC) 2010, di Bali. Panas bumi telah membantu perekonomian masyarakat Islandia, dengan menyediakan pemanas listrik yang murah bagi masyarakat, perumahan, maupun perusahaan. Dengan panas bumi pula, lanjut Presiden, Islandia berkembang menjadi negara menjadi tujuan investor dengan dibangunnya pabrik smelter, industri-industri berbasis teknologi, dan berbagai jenis usaha lainnya.(LH)