BUKAN rahasia umum lagi jika pengelolaan gas nasional, khususnya di hilir carut marut. Akibatnya, bukan hanya dirasakan produsen yang kelimpungan mencari pembeli gas, namun juga para pembeli atau konsumen gas.

Salah satu akibat dari ketidakjelasan dalam tata kelola gas nasional adalah harga gas yang terlampau tinggi. Hal itu jelas mempengaruhi harga produk dari hasil industri.

Ketidakjelasan begitu kasat mata terlihat dalam sistem pengawasan. Selama ini terdapat dua lembaga pemerintah yang beroperasi dan mengklaim sebagai pihak yang memiliki kepentingan melakukan pengawasan yakni Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Usaha Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Mulyadi, Anggota Komisi VII DPR, menyatakan ada oknum yang dengan jelas bermain dari dalam pemerintahan membuat instrumen pemerintah seakan melempem dalam melakukan pengawasan di industri migas, khususnya di sektor hilir gas.
BPH Migas yang seharusnya memiliki fungsi pengawasan justru tidak optimal menjalankan fungsinya tersebut.

“Selama ini saya keluhkan ke Pak Dirjen Migas, itu tidak ada pengawasan hilir. Ini mafia Pak, jadi harus dibongkar. Ini sengaja dihilangkan fungsi pengawasannya (BPH Migas),” kata Mulyadi di Jakarta, belum lama ini.

Salah satu hal penghapusan fungsi pengawasan adalah pemangkasan anggaran BPH Migas 2018. Dalam aturan baru, yakni Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1296/KMK.02/2015 menetapkan pemanfaatan iuran BPH Migas hanya sebesar 24,97% dari target iuran kegiatan usaha di bidang BBM dan Gas Bumi melalui pipa. Padahal di aturan sebelumnya BPH mendapat jatah 61,47%. Hal ini membuat alokasi anggaran BPH menjadi terbatas atau hanya sebesar Rp 156,4 miliar dibanding anggaran tahun ini yang diminta sebesar Rp 206,9 miliar.

Badan sekelas BPH Migas sudah sepatutnya memiliki perwakilan di tiap-tiap daerah sama halnya dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Keberadaan perwakilan tersebut diperuntukan tidak hanya untuk awasi distribusi gas namun juga BBM atau program lainnya seperti BBM satu harga secara nasional.

M. Fansurullah Asa, Kepala BPH Migas, mengeluhkan kondisi tersebut karena berpotensi menghambat kerja BPH Migas. Padahal ke depan BPH Migas ingin melakukan pengawasan secara ketat dalam penetapan toll fee, kemudian membenahi sekitar 50 badan usaha yang tumpang tindih distribusinya.

“Selama ini toll fee tidak dihitung. Ini membutuhkan tambahan effort. Kami dengan tegas katakan anggaran masih kurang,” tegas dia.

Sementara itu bagi pelaku usaha tata kelola gas sebenarnya bukan hanya terletak pada siapa yang mengawasi. Pemerintah sampai saat ini dianggap bersikap setengah hati dalam mengimplementasikan regulasi yang mereka buat sendiri.

Achmad Widjaja, Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia menyatakan dalam melakukan pengawasan seharusnya dilakukan satu pintu, dan pemerintah tidak perlu lagi menunjuk badan lain yang justru menambah pekerjaan.

Selain itu apabila ditunjuk badan lain pemerintah sendiri nantinya harus melakukan pengawasan juga terhadap badan yang ditunjuk untuk mengawasi tata kelola gas nasional.

“Semua sudah tumpang tindih, untuk lembaga pengawasan seharusnya langsung di Kementerian ESDM saja satu pintu, satu kebijakan dan satu aksi,” kata Achmad kepada Dunia Energi.

Apalagi pemerintah mempunyai rencana pembentukan holding, keberadaan BPH Migas sudah pasti tidak akan diperlukan karena pengaturan secara menyeluruh nanti akan langsung di kendalikan oleh pemerintah.

Selama ini melalui Direktorat Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi dibawah Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM sebenarnya memiliki fungsi untuk menyusun berbagai pengaturan pengawasan usaha hilir minyak dan gas bumi, termasuk hasil olahan dan bahan bakar lain.

Menurut IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, tidak ada tumpang tindih tugas antara Dirjen Migas dengan BPH Migas karena konsolidasi terus dilakukan dua arah. Selain itu tugas masing-masing lembaga sudah sesuai berdasarkan instruksi Menteri ESDM.

“Saya yakin tidak masalah karena kita menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan arahan Pak Menteri jadi tidak ada terjadi tumpang tindih tugas,” tandas Wiratmaja.(RIO INDRAWAN)