JAKARTA – Setelah gagal memaksa PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport McMoRan Copper and Gold Inc membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga dan mengeksekusi divestasi 10,64 persen saham Freeport, kini pemerintah mengeluarkan amunisi baru berupa Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan divestasi 51 persen perusahaan tambang yang dimiliki asing, tidak terkecuali Freeport. Freeport McMoRan yang sebelumnya hanya diwajibkan melepas 30 persen saham yang dikuasai di Freeport Indonesia, kini harus bersiap melepas 51 persen ke pihak Indonesia.

Divestasi 51 persen saham merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang Izin Usaha Pertambangan dan IUP khusus. Dan Freeport telah diberikan opsi untuk berubah dari perusahaan pemegang kontrak karya menjadi perusahaan IUPK.
Berubah menjadi perusahaan IUPK menjadi pilihan yang sulit ditolak Freeport. Pasalnya, hanya itulah satu-satunya cara agar perusahaan bisa tetap mendapat dana segar dari ekspor konsentrat. Karena jika tetap bertahan menjadi perusahaan pemegang kontrak karya, izin ekspor tidak akan dikeluarkan pemerintah.

Jika berubah menjadi perusahaan IUPK, tentu saja Freeport harus mengikuti aturan main yang berlaku. Salah satunya Freeport harus mendivestasi 51 persen sahamnya ke pihak Indonesia. Itu tentu lebih besar dari keharusan Freeport yang hanya wajib mendivestasi 30 persen sahamnya secara bertahap jika tetap menjadi perusahaan pemegang kontrak karya.

Freeport-McMoRan saat ini menguasai sekitar 90,64 persen saham Freeport Indonesia. Sisanya sebanyak 9,36 persen dimiliki Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Divestasi saham Freeport tahap pertama sebesar 10,64 persen seharusnya saat ini sudah terealisasi, sehingga pihak Indonesia memiliki 20 persen saham. Namun divestasi gagal dieksekusi karena tidak tercapainya titik temu menyangkut harga saham.

Freeport sebelumnya mengajukan harga US$1,7 miliar untuk 10,64 persen saham dari total nilai 100 persen saham sebesar US$16,2 miliar. Padahal berdasarkan perhitungan Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) pada awal 2016, nilai total 100 persen saham Freeport hanya sebesar US$ 13 miliar.

Penilaian CIRRUS dengan asumsi laba bersih Freeport untuk lima tahun ke depan stabil sebesar US$ 500 juta, maka hingga 2021 laba bersih Freeport US$ 3,92 miliar (belum discounted) dan ditambah aset 2014 menjadi US$ 13 miliar. Pada 2014, aset Freeport Indonesia tercatat US$ 9,1 miliar dengan total kewajiban US$ 3,4 miliar dan modal US$ 5,7 miliar.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan harga saham Freeport yang akan didivestasi ke pihak Indonesia harus fair market value. Serta tidak boleh memasukan cadangan yang terkandung di wilayah operasi Freeport.

“Itu posisi kami, Kementerian ESDM. Cadangan yang ada di dalam lahan Freeport adalah milik negara. Yang berhak itu negara. Jadi apakah nilai 10,64 persen itu mencapai US$1,7 miliar? Tentu tidak akan sebesar itu, silakan hitung sendiri,” ungkap Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM saat berdiskusi dengan sejumlah perwakilan media tentang implementasi PP Nomor 1 Tahun 2017 di Jakarta, Sabtu (21/1).

Saat itu Arcandra ditemani Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, serta dua staf khusus Menteri ESDM, Akhmad Syakhroza dan Hadi M.Djuraid.

Hikmahanto mengatakan jika tidak ada opsi perubahan dari kontrak karya ke IUPK, maka akan memicu keluhan karena tidak bisa melakukan ekspor konsentrat. Jika kemudian terjadi ketidaksepakatan atau deadlock, bisa saja masalah ini kemudian dibawa ke pengadilan arbitrase. Maka itu ada aturan baru dengan memberikan opsi.

“Bisa tetap KK tapi tidak bisa ekspor atau berubah ke IUPK bisa ekspor. Namun Freeport berubah dari KK ke IUPK juga tidak akan mudah, karena mereka minta stabilisasi investasi,” ungkap dia.

Perubahan rezim kontrak memang bukan keharusan bagi Freeport, karena pemerintah tetap membuka peluang bagi Freeport untuk tetap menjadi perusahaan kontrak karya. Namun jika Freeport memilih berubah menjadi IUPK, pemerintah bahkan menjanjikan perpanjangan izin operasi Freeport di tambang emas dan tembaga Grasberg, Papua bisa lebih cepat diperoleh.

Dalam peraturan baru disebutkan perusahaan tambang bisa mengajukan perpanjangan izin operasi lima tahun sebelum kontrak berakhir. Jika kontrak berakhir pada 2021, maka Freeport saat ini sudah bisa mengajukan perpanjangan kontrak.

Freeport pun merespon cepat kebijakan baru pemerintah dengan menyatakan kesediaan untuk berubah menjadi perusahaan pemegang IUPK. Masalahnya, dalam surat yang ditujukan ke Kementerian ESDM, Freeport disebut juga meminta adanya stabilitas dan kepastian hukum dari pemerintah setelah berubah status menjadi perusahaan IUPK. Dengan kata lain, Freeport tetap meminta privilege terhadap aturan fiskal dan perpajakan ke depannya.

“Tidak ada negosiasi. PP-nya sudah ditandatangani presiden, permen-nya sudah ditandatangani menteri. Jadi ikut (Freeport) aturan saja,” tegas Arcandra.(AT)