Menimba Minyak

Warga menimba minyak dari kolam penampungan minyak curian di Sumatera Selatan.

Istilah ini mungkin tidak akan pernah ditemui dalam kamus oil engineering practice di seluruh dunia. Namun di Sumatera Selatan, khususnya di Kabupaten Musi Banyuasin, “sumur panjang” cukup akrab di bibir dan telinga warga.

Sepintas pipa besi itu tak ubahnya pipa-pipa lain yang biasa digunakan menyalurkan minyak, dari sumur produksi ke lokasi pengolahan atau distribusi. Hitam mengkilat dan tertanam kokoh sepanjang ratusan kilometer. Bedanya, pada bagian pipa yang melintasi semak-semak rimbun, tampak pipa kecil abu-abu menancap, dengan kran oranye kecil yang biasa digunakan menyalurkan air ke bak mandi.

Pipa minyak dengan tambahan pipa abu-abu dan kran oranye itu, ditemukan di jalur pipa Tempino, tepatnya di Kilometer 03 Sei Gerong, Musi Banyuasin, awal 2012 lalu. Kepala Perwakilan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) Setia Budi menyebutkan, pipa abu-abu dengan kran oranye itu merupakan salah satu modus illegal tapping alias pencurian minyak mentah, yang cukup marak di jalur pipa Tempino – Plaju.

Gerombolan pencuri cukup rapi melubangi pipa, memasang clamp dan paralon, berikut krannya di pipa minyak Pertamina tersebut. Minyak lantas disalurkan ke kolam-kolam penampungan yang sudah disiapkan, lalu ditimba oleh anggota gerombolan yang lain ke jerigen, drum, hingga ke tangki-tangki. Sekali beraksi anggota mereka mencapai puluhan orang, dengan tugas masing-masing. Biasanya yang menimba dari kolam adalah warga setempat, dengan iming-iming ratusan ribu rupiah per drum.

Jika minyak yang diangkut dirasa cukup, kran akan ditutup. Esoknya saat beraksi kembali, mereka tinggal membuka kran untuk mengalirkan kembali minyak ke kolam penampungan. Selama tidak ada yang memergoki, pencuri bisa membuka tutup kran berkali-kali. Saat terpergok, mereka beralasan sedang memanfaatkan minyak dari sumur tua, yang sudah tidak lagi diproduksikan Pertamina. “Kolam-kolam penampungan minyak curian itulah yang mereka sebut sumur tua,” ujar Setia Budi geli.

Sumur Panjang

Pipa minyak yang dilubangi pencuri kerap disebut “sumur panjang”.

Dari situlah berkembang istilah sumur panjang di Musi Banyuasin. Warga cukup mahfum, jika ada yang mengaku menambang minyak dari sumur tua, yang terjadi sebenarnya adalah minyak dialirkan dari sumur panjang, yakni pipa minyak Pertamina yang dilubangi. “Istilah lainnya yang juga cukup populer adalah sumur mati untuk kolam minyak curian yang sudah tidak digunakan, dan sumur gayung untuk kolam penampungan minyak curian yang masih digunakan,” tuturnya Rabu, 24 Oktober 2012.

Bertameng Perda Sumur Tua

Memang, ujarnya, di Musi Banyuasin ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 26 Tahun 2007, tentang pengelolaan sumur-sumur minyak tua. Namun kalau hanya dari sumur tua, tidak mungkin sampai ada kilang pengolahan tradisional –yang dapat dipastikan ilegal– dengan luas berhektar-hektar, seperti yang ditemukan di Desa Simpang Bayat, Musi Banyuasin. Setiap harinya minyak yang diolah mencapai ribuan barel, dengan ratusan tungku untuk memisahkan minyak dengan air.

“Logika oil engineering practice-nya, kalau diambil dari sumur tua maka 90% muatannya  adalah air, dan minyaknya cuma 10%. Tapi yang diolah di kilang-kilang ilegal itu, 90%-nya adalah minyak, dan 10%-nya air,” tandas Setia Budi. Perda Sumur Tua pun kerap dijadikan tameng warga, yang menimba minyak dari kolam-kolam penampungan minyak curian. Maka dari itu, ia mengusulkan agar Perda Musi Banyuasin Nomor 26 Tahun 2007 itu dicabut, agar tidak dijadikan tameng para pencuri minyak.

Dampak dari penambangan minyak di sumur panjang ini pun luar biasa. Bukan hanya ribuan barel minyak mentah yang melayang, tetapi juga hambatan pada aktivitas produksi. BP Migas mencatat, sepanjang 2012 saja harus dilakukan 84 kali atau total 327 jam shutdown (penghentian produksi, red) guna memperbaiki pipa yang dilubangi dan pemompaan ulang. Belum lagi pencemaran terhadap lingkungan hutan, sungai, lahan pertanian dan sumur air warga, yang mencapai sembilan kasus di 2012.

Masih di 2012, akibat pencurian minyak telah terjadi 12 kasus kebakaran hutan, kebakaran rumah warga dan rumah makan, di Sumatera Selatan. Yang terbesar adalah kasus kebakaran hebat di dekat jalur pipa minyak Tempino – Plaju, tepatnya di Kilometer 219 Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, pada Rabu, 3 Oktober 2012. Lima orang yang diduga pelaku illegal tapping tewas terpanggang, dan belasan lainnya mengalami luka parah.

Vice President Legal Relations PT Pertamina EP, Aji Prayudi mengungkapkan, sebelum tragedi memilukan di 3 Oktober 2012 tersebut, sebenarnya telah terjadi kebakaran serupa. Bahkan kebakaran yang terjadi pada 2 Agustus 2012 itu jauh lebih besar, meski tidak ada catatan korban jiwa. Lokasinya pun di jalur pipa Tempino – Plaju yang melintasi Bayung Lencir. Di lokasi kejadian, ditemukan pula barang bukti bekas pencurian seperti clamp, valve, dan peralatan lain untuk melubangi pipa.

Saat ini, modus penambangan minyak dari sumur panjang pun berkembang. Karena patroli pengawasan jalur pipa ditingkatkan, para pelaku pencurian menggunakan modus baru. Mereka membangun rumah di atas jalur pipa, lalu melakukan illegal tapping di dalam rumah. Minyak curian tetap disalurkan ke kolam-kolam penampungan, dan warga dimanfaatkan untuk menimba minyak dari sumur panjang itu. Saat terpergok, lagi-lagi alasannya mereka memanfaatkan minyak dari sumur tua.

Baik Setia Budi maupun Aji Prayudi membenarkan, kasus illegal tapping di Sumatera Selatan terus meningkat sejak 2009 hingga saat ini. Berkali-kali dilaporkan, namun tampaknya Kepolisian Daerah (Polda) setempat tak berdaya menghadapi tindak kriminal ini. Tak jarang, pelaku yang tertangkap dilepaskan, dan barang bukti yang disita digunakan lagi untuk aksi pencurian berikutnya. Petugas BP Migas dan karyawan Pertamina EP yang memergoki pun tak luput dari sasaran teror.

Lokasi pencurian terbanyak di Kabupaten Musi Banyuasin 462 kasus (73,22%), yakni di Kecamatan Bayung Lencir dan Kecamatan Sungai Lilin. Lokasi terbanyak kedua terjadi tindak pencurian minyak adalah di Kabupaten Banyuasin, sebanyak 102 kasus (16,16%). Juga di Kota Palembang sebanyak 50 kasus (7,92%) dan di Kabupaten Muaro Bungo sebanyak 17 kasus (2,69%). Kepala Desa setempat pun kerap mengeluh, karena kolam-kolam bantuan untuk budidaya ikan, beralih fungsi menjadi kolam penampungan minyak curian.

Data Kasus Illegal Tapping di Sumatera Selatan

Tahun Jumlah Kasus Kerugian
2009 10 kasus 0,22 % produksi = 7.734 bbl
2010 131 kasus 0,24%  produksi = 8.120 bbl
2011 420 kasus 2,48%  produksi = 94.529 bbl
2012 (s/d 19 September) 631 kasus 238.957 bbl

Sumber: Kepala Perwakilan BP Migas Sumbagsel.

Akibat Lemahnya Koordinasi

Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edy menilai, tingginya kasus pencurian minyak di Sumatera Selatan akibat lemahnya koordinasi, terutama antara pemerintah dan aparat keamanan yakni Kepolisian. “Lambatnya penanganan kasus pencurian minyak ini, karena koordinasi yang masih jadi “barang mewah” di negeri ini,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 24 Oktober 2012.

Dari informasi yang diperolehnya, Tjatur mengungkapkan PT Pertamina EP yang menjadi korban dari tindak pencurian ini, merasa institusi kepolisian terutama Polda Sumatera Selatan kurang peduli terhadap kasus tersebut. Di sisi lain, pihak kepolisian juga merasa bantuan “logistik” Pertamina terhadap polisi, masih kurang dalam penanganan kasus ini.

Ia juga mengaku gerah, karena dari data yang dikumpulkannya, Pertamina menyebutkan hingga saat ini sudah terjadi 666 kasus pencurian minyak. Sedangkan Polda Sumatera Selatan menyebutkan, tindak pencurian minyak hingga saat ini hanya 69 kasus. Polisi juga menyebutkan, pos penjagaan Pertamina di sepanjang jalur pipa kurang, sehingga menyulitkan pengamanan.  “Tapi apa pun itu, negara harus hadir untuk mengatasi kasus ini,” tandasnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini pun mengkritik polisi, yang hingga kini masih bergerak dalam tahap penyelidikan, dalam penanganan kasus pencurian minyak yang mengakibatkan lima orang tewas terbakar pada 3 Oktober 2012 lalu. “Masa hampir sebulan masih penyelidikan terus, mestinya sudah meningkat ke penyidikan dong. Harus ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus itu,” tambahnya.

Tjatur pun mengungkapkan, jika polisi tidak sanggup menangani kasus pencurian minyak mentah ini, maka sudah cukup alasan bagi DPR untuk mematangkan kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas). Artinya, kasus pencurian minyak ini sudah menjadi persoalan nasional, dan penanganannya harus melibatkan lintas institusi. Ia juga mengusulkan, Pertamina semakin menggalakkan Corporate Social Responsibility (CSR) guna meminimalkan tindak pencurian minyak.

akibat pencurian

Kebakaran dan pencemaran lingkungan akibat illegal tapping di KM 41.300 Desa Rejodadi, Banyuasin III.

Terkait hal ini, Wakil Direktur Pengamanan Objek Vital Nasional (Pamovitnas) Baharkam Polri, Kombes Pol Achmadi tidak menampik, institusi Polri kurang gesit dalam menindak kasus pencurian minyak di Sumatera Selatan. “Itu adalah masukan bagi kami, Polri. Namun itu bukan berarti polisi tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi kasus ini,” ujarnya. Ia pun mengakui, keterbatasan jumlah personel menjadi kendala utama penanganan kasus ini.

Achmadi juga menuturkan kondisi yang menyulitkan penanganan berbagai kasus pencurian minyak di Sumatera Selatan. Diantaranya sebagian pipa minyak Pertamina yang dalam keadaan tidak tertanam, sehingga muncul di permukaan tanah dan kondisinya pun sudah cukup tua. Selain itu, pengamanan jalur pipa secara internal oleh security perusahaan juga tidak berjalan baik, akibat minimnya personel.

“Di sepanjang jalur pipa sejauh 343 Kilometer, yakni Bayung Lencir – Plaju 247 kilometer, dan Prabumulih – Plaju 96 kilometer, hanya terdapat dua pos pengamanan perusahaan. Yaitu Pos 1 di Kilometer 66 Desa Setrio Kabupaten Banyuasin, dan Pos 2 di Kilometer 174 Desa Simpang Tungkal, kabupaten Musi Banyuasin,” ungkap Achmadi di Jakarta, Rabu, 24 Oktober 2012.

Jalur pipa itu pun jauh dari pantauan, melewati hutan, rawa, kebun masyarakat, dan sebagian berada di sekitar pemukiman penduduk. Ditambah lagi, belum ada sistem deteksi yang dapat mengetahui tindak pencurian secara langsung.

Berangkat dari itu, Achmadi mengungkapkan, pihaknya telah menganalisa dengan seksama kasus pencurian minyak ini. Maka dari itu, Pamobvitnas Polri telah merekomendasikan pentingnya pembentukan Tim Pengamanan Terpadu, guna menangani persoalan ini.

Sejauh ini, lanjutnya, Polri sudah membuat sendiri Tim Pengamanan Terpadu yang terdiri dari Pam Internal Perusahaan, Polda Sumatera Selatan 83 orang, Brimob Sumatera Selatan 30 orang, Polres Musi Banyuasin 72 orang, dibantu personel TNI 50 orang. “Penegakan hukum dilakukan di tingkat Polda, dengan back up dari Mabes Polri,” tandasnya.

Achmadi pun menuturkan, pipa minyak adalah salah satu objek vital nasional yang rawan terhadap gangguan. Maka dari itu, selain penegakan hukum diperlukan juga upaya preventif dalam bentuk penggalakan CSR perusahaan, di sepanjang jalur pipa. CSR yang dilakukan harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, sehingga mereka mempunyai alasan untuk berhenti melakukan tindak pencurian minyak.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)