JAKARTA – Wacana pembentukan agregator gas kembali digulirkan pelaku usaha gas. Pembentukan agregator dianggap dapat memberikan dampak positif untuk bisa mendukung penataan pengelolaan gas yang lebih terorganisir melalui satu badan dengan kemampuan mumpuni, baik di sektor hulu maupun hilir.

Salis Aprilian, Ketua Bidang Teknologi Indonesia Gas Society (IGS), mengatakan mekanisme pembentukan agregator gas bisa meniru skema dalam sektor pagan dengan keberadaan Bulog. Adanya agregator gas tentu bisa mendukung penetapan satu harga gas secara nasional.

“Jadi sama seperti Bulog, gas dikumpulkan dulu nanti mana yang butuh baru disalurkan jadi biar harganya sama,” kata Salis kepada Dunia Energi, baru-baru ini.

Salah satu syarat utama dalam pembentukan badan yang mengelola gas di tanah air adalah kemampuan menyeluruh dalam mengelola sektor hulu dan hilir. PT Pertamina (Persero) merupakan salah satu badan usaha yang memenuhi syarat tersebut.

“Kalau yang lain saya tidak melihat dari supply chain memenuhi, karena syarat agregator kan harus menguasai di hulu juga untuk tabungan gasnya,” kata dia.

Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR, menyatakan kekayaan negara seperti sumber daya gas merupakan salah satu produk spesifik yang harus dikuasai negara, sehingga agregator gas menjadi salah satu solusi yang relevan dan bisa diimplementasikan terutama pada saat sekarang ini.

“Ini kan kekayaan negara jadi butuh agregator juga supaya semua tata kelola diatur dengan baik. Jadi yang belum optimal itu yang dioptimalkan,” ungkap dia.

Menurut Gus Irawan, pemerintah harus bisa menentukan badan usaha yang sesuai. Apalagi untuk saat ini ada dua badan usaha yang menguasai tata kelola gas di tanah air, yakni Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS).

“Kalau masih ada yang existing dua ini Pertamina dan PGN bagaimana disinkronisasi oleh pemerintah,” tandasnya.(RI)