SELAIN keterlibatan di proyek prestisius 35 ribu megawatt, pelaku usaha didorong untuk membangun pembangkit listrik yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) guna mencapai program pembangunan infrastruktur kelistrikan. Potensi yang bisa disasar yakni geothermal, energi hidro, dan mikrohidro.

Pentingnya implementasi penggunaan EBT ini juga didukung dengan data survei terbaru hasil kerja sama Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Pricewaterhouse Coopers (PwC). Dalam riset per Juni 2017, 57% responden berharap dalam lima tahun ke depan energi berkelanjutan menjadi isu yang lebih diprioritaskan ketimbang keamanan pasokan.

Riset ini menegaskan bahwa tren global yakni pertumbuhan penduduk, pembangunan kota-kota megapolitan, dan distruptive technologies akan mempengaruhi ketenagalistrikan di Indonesia, sebab itu pemanfaatan EBT menjadi penting.

Pada awal 2016, pemerintah pun mulai menggalakkan potensi dn mengoptimalkan penggunaan EBT dalam penyediaan listrik di Tanah Air. Apalagi, pemerintah berkomitmen mengurangi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada 2020 sesuai Paris Agreement 2011.

Banyak pihak swasta yang mendukung program pemerintah secara bersama-sama memberi solusi bagi pemerataan listrik.  Namun demikian, situasi ekonomi serta kebijakan dan regulasi yang ada saat ini, dianggap masih menjadi hambatan dan tantangan bagi para pengembang energi panas bumi (geothermal).

Abadi Poernomo, Ketua Asosiasi Panas bumi Indonesia (API), mengakui bahwa hingga saat ini tantangan tersebut masih tetap ada dan harus dihadapi oleh para pengembang geothermal sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran yang bersifat breakthrough.

“Antara lain dengan menekan biaya-biaya disemua tahap kegiatan baik mulai dari survei, eksplorasi, drilling sampai tahap pembangunan power plant, agar menghasilkan tarif yang terjangkau oleh pemerintah,” kata dia.

Abadi menambahkan, diperlukan pula langkah maju ke depan dalam menghadapi tantangan dan hambatan tersebut. Namun demikian, kesempatan untuk mengembangkan panas bumi masih terbuka luas.
Target 7200 MW dari panas bumi merupakan target yang ambisius. Karena hingga saat ini total kapasitas panas bumi terpasang ialah 1.643,5 MW.  “Artinya, masih ada kekurangan sebesar ±5700 MW yang perlu dikembangkan dalam kurun waktu 10 tahun atau ±550 MW per tahun,” ujar Abadi.

Dia mengatakan asosiasi panas bumi terus bermitra dengan pemerintah dalam memberikan masukan-masukan, kajian ilmiah dalam beberapa hal dengan visi untuk dapat mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia.

Rida Mulyana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, berharap kegiatan sektor geothermal masih tetap eksis dan berjalan sebagaimana mestinya.

“Yang diharapkan oleh pemerintah adalah, dukungan terhadap kebijakan penyediaan tenaga listrik dari energi terbarukan, dengan target 7200 MW di tahun 2025 melalui PP Nomor 79 Tahun 2014,” tukas Rida.

Lasman Citra, Wakil Direktur Utama PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA), menyampaikan keseriusan perseroan masuk ke bisnis energi baru terbarukan (EBT) karena besarnya potensi bisnis yang bisa dikembangkan. Apalagi, sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN) bauran EBT pada tahun 2025 adalah sebesar 23% dari total kapasitas terpasang.

“Melihat peluang yang ada, sejak tahun 2010 Terregra mulai melakukan tahapan untuk menjadi Independent Power Producer (IPP) yang mengkhususkan EBT,” ujar Lasman.

Terregra Asia, perusahaan sektor energi baru terbarukan yang pertama tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham TGRA ini berdiri sejak tahun 1996 di Bali dengan nama PT Mitra Megatama Perkasa sebagai perusahaan penyedia jasa teknis khusus mesin dan pemasok suku cadang bagi PLN.

Kini, perseroan lebih fokus ke pembangkit listrik yang berbasis EBT, seperti tenaga air (mini hydro) dan sinar matahari (surya, solar power), di beberapa daerah di Sumatera dan Indonesia Timur.

Hingga saat ini Terregra didukung 11 proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan mini hydro power plant dengan target kapasitas terpasang 492 MW, semuanya berlokasi di Sumatera Utara.Perseroan juga tengah melakukan survei di Kalimantan Utara, Tengah, dan Selatan guna mengembangkan proyek PLTA. Tahun 2019, Terregra menargetkan empat proyek PLTA di Sumatera Utara akan beroperasi.

Sebagai holding company, Terregra memiliki dua anak usaha yakni PT Terregra Hydro Power (THP) yang membidangi Pembangkit Listrik Tenaga Air serta PT Terregra Solar Power (TSP) di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Keseluruhan aktivitas operasi Terregra saat ini berada di pulau Sumatera dan Indonesia bagian Timur, dimana memiliki total 11 proyek dengan target kapasitas terpasang 492 MW.

“Misi perusahaan yaitu mengembangkan dan mempromosikan energi bersih dan terbarukan di Indonesia, menyediakan listrik di daerah terpencil, mengurangi emisi dan jejak karbon di muka bumi, serta memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar,”

tandas Lasman.(YURIKA INDAH P)