Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor.

Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor.

JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menjatuhkan vonis bersalah untuk terdakwa kasus bioremediasi. Seperti yang sudah-sudah, nyaris seluruh pertimbangan hakim mengekor alis membebek pada keterangan Edison Effendi, saksi serta ahli Kejaksaan Agung yang sarat konflik kepentingan dan kerap berbohong di depan persidangan.

Dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis, 17 Oktober 2013 dengan terdakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah, Majelis Hakim yang diketuai Antonius Widijantono menjatuhkan vonis 2 tahun penjara pada terdakwa, plus denda Rp 200 juta subsidair 3 bulan penjara.   

Meski lebih ringan dari tuntutan jaksa 6 tahun penjara, namun pimpinan CPI mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Pasalnya bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, menujukkan Bachtiar tidak bersalah. Hanya keterangan plintat-plintut Edison Effendi yang menyebutkan proyek bioremediasi CPI bermasalah, sementara dia sendiri tidak paham aturan bioremediasi.   

Mereka pun bereaksi. Presiden Direktur PT CPI, A Hamid Batubara dan Chevron Indonesia Managing Director, Chuck Taylor, langsung menyampaikan pernyataan bersama menanggapi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas karyawan CPI, Bachtiar Abdul Fatah.

“Kami menghormati lembaga peradilan Indonesia dan telah sepenuhnya mengikuti proses hukum ini. Meskipun kami menyambut baik putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Bachtiar tidak terbukti melakukan tindakan kriminal, namun kami sangat kecewa atas putusan pengadilan yang terbagi ini yang menyatakan bahwa Bachtiar terbukti bersalah dalam dakwaan sekunder,” ujar keduanya.

Mereka mengaku heran, Majelis Hakim menyatakan Bachtiar  terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dalam proyek bioremediasi. Padahal jabatan Bachtiar hanya setingkat General Manager 9GM) saat menandatangani kontrak bioremediasi, dan pimpinan tertinggi Chevron Indonesia tidak pernah mempermasalahkannya.

Lebih kecewa lagi, Majelis Hakim dalam putusannya memerintahkan agar Bachtiar tetap ditahan. ”Kami yakin putusan ini tidak memberi keadilan,” tandas Hamid dan Taylor.  

Keduanya tak habis pikir, bukti-bukti faktual yang melimpah, keterangan pihak pemerintah yang berwenang dan pendapat para ahli yang hadir di persidangan, menunjukkan dengan jelas bahwa Bachtiar tidak melakukan pelanggaran hukum dan proyek ini telah berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun Majelis Hakim seolah tak memprtimbangkan itu semua.

“Keprihatinan dan dukungan kami untuk Bachtiar dan keluarganya dalam masa yang sangat sulit ini. Kami akan terus mendukung upaya hukum Bachtiar untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah,” tegas Hamid dan Taylor.

Sangat penting untuk dicatat bahwa pada 27 November 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan putusan praperadilan yang memerintahkan pembebasan dari tahanan dan dari status tersangkanya karena tidak ada bukti yang mendukung tuduhan jaksa.

Menurut hukum Indonesia kasus tersebut tidak dapat dibuka kembali tanpa putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pengadilan tersebut. Kami memandang peradilan dan penahanan Bachtiar yang berlangsung sejak 17 Mei 2013 merupakan pelanggaran hukum.

“Kami percaya bahwa Bachtiar tidak bersalah atas semua dakwaan kepadanya. Putusan pengadilan ini tampaknya telah mengabaikan bukti-bukti faktual, hasil pengujian yang telah tersertifikasi, dokumentasi prosedur, Peraturan Menteri dan berbagai kesaksian dari pejabat pemerintah yang berwenang dan para ahli pihak ketiga yang kredibel,” kata Hamid dan Taylor lagi.

Keduanya juga menyaksikan, betapa dalam menuntut Bachtiar, putusan pengadilan merujuk hampir seluruhnya pada keterangan salah satu “saksi ahli” yang telah jelas memiliki konflik kepentingan, dan bukti yang dimilikinya pun telah diabaikan oleh hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan ini.

Padahal sangat jelas di persidangan, para pejabat Pemerintah dari lembaga yang berwenang telah bersaksi bahwa program bioremediasi PT CPI telah memiliki izin yang sah dan beroperasi sesuai dengan peraturan dan kebijakan Pemerintah yang berlaku.

Pengadilan pun telah mendengar kesaksian dari pejabat SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menegaskan bahwa operasi proyek bioremediasi adalah sah dan dibawah pengawasan Pemerintah.

“CPI akan terus mendukung karyawannya dan memastikan hak-hak hukum yang dimiliki perusahaan dan karyawan sesuai dengan kontrak PSC yang mengikat Pemerintah Indonesia dan CPI, dapat terus dihormati dan dilindungi,” tukas Hamid dan Taylor.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)