JAKARTA – PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) melalui anak usahanya PT Medco E&P Malaka, menggarap potensi gas di Blok A, Aceh Timur, untuk memenuhi kebutuhan gas pada industri di Aceh dan Sumatera Utara. Ada tiga lapangan gas yang sedang dikembangkan yakni lapangan Alur Siwah, Alur Rambong dan Julu Rayeu.

“Ketiga lapangan gas ini memiliki kapasitas produksi 63 BBTUD untuk industri domestik dan listrik. Proyek pengembangan ini diharapkan bisa mulai berproduksi pada semester pertama 2018,” ujarHilmi Panigoro, Direktur Utama Medco Energi di Banda Aceh, Jumat (21/7).

Hilmi juga menegaskan bahwa proyek tersebut akan memberikan kontribusi pendapatan kepada Aceh, negara serta membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha untuk pengusaha baik lokal maupun nasional.

Apalagi, selain ketiga lapangan tersebut, masih terdapat potensi gas besar lainnya di lapangan Kuala Langsa dan Matang, dengan potensi yang belum digarap sekitar 2-3 TCF.

Pengembangan kedua lapangan ini diharapkan dapat menghasilkan gas untuk kebutuhan pembangkit listrik yang mampu menghasilkan listrik sekitar 1.000 – 1.200 MW untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 15 tahun.

“Saat ini, kami sedang melakukan pembicaraan dengan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk dapat segera mempercepat pengembangan Lapangan Matang dan Kuala Langsa,” papar Hilmi dalam keterangan tertulisnya

Menurut dia, pengembangan kedua lapangan ini akan memberikan potensi pendapatan yang cukup besar bagi pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, pengembangan lanjutan Blok A ini juga akan membawa manfaat lain bagi masyarakat Aceh, seperti terciptanya lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja lokal, menarik investor, dan mempercepat pembangunan di Aceh.

Namun, tegas Hilmi, pengembangan lapangan gas ini memiliki beberapa tantangan karena memiliki Kompleksitas Reservoir i.e HPHT (bertekanan dan bertemperatur tinggi) dan kandungan CO2 tinggi untuk Lapangan Kuala Langsa (dapat mencapai 81%). Lapangan dengan kondisi seperti ini membutuhkan teknologi tinggi dan tepat guna.

Tidak hanya itu, paparnya, biaya pengembangan lapangan dengan kondisi ini juga cukup mahal sehingga dibutuhkan insentif-insentif untuk memastikan tingkat pengembalian yang wajar dan dapat dimonetisasi.

“Pengembangan lapangan gas ini diharapkan dapat menjadi proyek percontohan bagi pengembangan lapangan gas marjinal lainnya di Aceh dan wilayah Indonesia lainnya,” kata Hilmi.(RA)