JAKARTA – PT Pertamina (Persero) yang menjalankan tugas menyalurkan bahan bakar minyak (BBM) penugasan jenis Premium dan Solar dipastikan terdampak kebijakan pemerintah menahan harga BBM ditengah harga minyak dunia yang cenderung naik. Namun Pertamina dinilai masih memiliki cadangan keuntungan Rp21 triliun untuk menahan beban selisih harga BBM.

Fahmy Radhi, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan penetapan harga BBM di bawah harga keekonomian membuat Pertamina akan menanggung potensi kerugian (opportunity loss). Namun, pemerintah sesunguhnya tidak membiarkan Pertamina menanggung potensi opportunity loss akibat menjalankan kebijakan menjual BBM dibawah harga keekonomian.

Pada formula penetapan harga jual BBM, pemerintah sudah memasukan komponen biaya penugasan sekitar Rp550 per liter dan memberikan margin kepada Pertamina Rp250 per liter.

Selain itu, pada saat penetapan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina menikmati keuntungan besar sebagai wind fall. Pada 2016 saat harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) merosot pada kisaran US$38 per barel, pemerintah memutuskan tidak menurunkan harga jual BBM. Saat itu Pertamina meraup keuntungan sekitar Rp40 triliun.

Jika potensi kerugian penjualan harga BBM 2017 sebesar Rp19 triliun dikompensasikan dengan keuntungan pada 2016, Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp21 triliun.

“Sisa keuntungan itu masih sangat memadai untuk menutup potensi  kerugian Pertamina akibat kenaikan harga minyak dunia pada 2018,” kata Fahmy kepada Dunia Energi, Senin (26/3).

Dia menambahkan pemerintah juga memberikan beberapa kompensasi kepada Pertamina. Salah satunya dengan memberian hak pengelolaan Blok Mahakam terhitung sejak 1 Januari 2018. Pemberian non-cash aset Blok Mahakam diperkirakan menambah aset Pertamina sebesar US$9,43 miliar atau sekitar Rp122,59 triliun. Adanya tambahan asset sebesar itu membuat total aset Pertamina kini naik menjadi US$54,95 miliar atau sekitar Rp714,35 triliun.

Jika Pertamina memanfaatkan ketentuan pemerintah dengan menetapkan share down 39% saham Blok Mahakam,  maka perusahaan migas plat merah itu berpotensi memperoleh  cash inflow dalam bentuk fresh money sekitar US$3,68 miliar atau sebesar Rp47,84 triliun.

Belum lagi jika berdasarkan data produksi Blok Mahakam sebelumnya, potensi pendapatan bersih setelah dikurangi cost recovery, selama 2018 diprediksikan akan mencapai sebesar US$317 juta atau sekitar Rp4,12 triliun.

Kalau diperhitungkan cash inflow dari windfall 2016 sebesar Rp40 triliun ditambah share down saham Blok Mahakam pada awal 2018 sebesar Rp47,84 triliun, dan potensi pendapatan bersih pengelolaan Blok Mahakam pada akhir 2018 sebesar Rp. 4,12 triliun, maka total cash inflow pada 2016-2018 sebesar Rp91,96 triliun.

“Jumlah itu masih sangat mencukupi untuk menutup potensi opportunity lost akibat tidak menaikkan harga BBM pada 2017-2018. Bahkan sepanjang 2019 tidak perlu ada kenaikan harga BBM, lantaran total cash inflow itu masih sangat memadai untuk menutup potensi opportunity lost Pertamina hingga akhir 2019,” ungkap Fahmy.

Berdasarkan hitungan tersebut,  pemerintah masih punya cukup ruang untuk tidak menaikkan harga BBM hingga akhir 2019 lantaran Pertamina masih memiliki bantalan cash inflow, yang sangat cukup untuk menutup kerugian.

“Jadi tidak ada ada alasan bagi Pertamina untuk mengeluh secara berkepanjangan dan tidak proporsional,” tandas Fahmy.(RI)