JAKARTA – Permasalahan lahan dinilai  hanya sebagai alasan yang dibuat-buat atas tidak mandeknya proyek pembangunan kilang baru. Kendala utama justru ada pada kemauan pemerintah untuk mendukung proyek tersebut.

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan salah satu alasan tidak adanya dukungan besar dari pemerintah dalam proyek kilang adalah kondisi makro ekonomi yang  tidak stabil, terutama nilai tukar rupiah yang anjlok terhadap dolar Amerika Serikat.

“Masalah lahan kan sudah ada kebijakan baru, itu mengalihkan fokus saja. Sekarang dolar sudah Rp15 ribu, ya kilang tertolak menteri keuangan, semua proyek di-setop,” kata Achmad kepada Dunia Energi, Rabu (24/10).

PT Pertamina (Persero) saat ini tengah menggarap enam proyek kilang. Dua proyek merupakan kilang baru, yakni Kilang Tuban dan Bontang. Untuk Kilang Tuban, Pertamina menggandeng Rosneft, perusahaan asal Rusia. Untuk Kilang Bontang sudah terpilih calon mitra, yakni konsorsium perusahaan asal Oman,  Overseas Oil and Gas LLC (OOG) dan perusahaan trading Cosmo Oil International Pte Ltd (COI) yang merupakan trading arm Cosmo Energy Group, perusahaan pengolahan minyak Jepang.

Pada rencana awal, Kilang Tuban saat ini seharusnya sudah memasuki tahap Basic Engineering Design (BED) dan selesai pada akhir 2019. Baru dilanjutkan dengan Engineering Procurement Construction (EPC).

Saat ini Pertamina tengah mengevaluasi untuk mengubah lokasi proyek pembangunan kilang dari Tuban ke Situbondo. Evaluasi tersebut  tengah dievaluasi juga oleh Kementerian ESDM.

Untuk kilang Bontang memasuki tahap Bankable Feasibility Study (BFS) pada pertengahan 2018 hingga kuartal III  2019. Kemudian dilanjutkan dengan BED hingga hingga kuartal III 2020, baru dilanjutkan EPC.

Empat proyek pengembangan atau revitalisasi kilang lain menyasar Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Dumai.

Kilang Balikpapan dibagi menjadi dua tahap pengembangan dan menjadi salah satu proyek terdepan yang dikejar target penyelesaiannya.

Pada  tahap satu pelaksanaan tender EPC kontrak sudah dilakukan dan seharusnya jika sesuai time line maka November sudah diputuskan pemenang untuk kemudian dilanjutkan dengan konstruksi, sehingga bisa selesai pada 2022.

Tahap kedua pengerjaan konstruksi ditargetkan dimulai pada 2021. Namun pengebangan proyek yang semula akan dikerjakan sendiri oleh Pertamina kini justru sedang mencari mitra.

Kilang Balongan proses BFS belum juga selesai dan untuk kilang Dumai pelaksanaan BFS direncanakan baru dilakukan pada awal tahun 2019. Selain dengan Rosneft, Pertamina juga telah bekerja sama dengan Saudi Aramco untuk pengembangan kilang Cilacap. Namun perkembangannya juga jalan ditempat karena sampai sekarang belum terbentuk perusahaan patungan atau entitas baru pengelola kilang nantinya.

Menurut Achmad, komitmen pemerintah sangat dibutuhkan untuk bisa melanjutkan proyek pembangunan kilang. Pemerintah juga bisa menagih komitmen para mitra Pertamina.

Apalagi kerja sama juga sudah terjalin antara Pertamina dengan Saudi Aramco dalam hal jual beli LPG. “Partnernya komitmen, Aramco mana, monopoli LPG bertahun-tahun investasi tidak mau, bagaimana itu?,” tandasnya.(RI)