JAKARTA- Pengembangan blok migas Natuna Timur (East Natuna) di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau dapat mengurangi disparitas hingga 20% pada 2025 atas pasokan dan permintaan gas di Tanah Air yang diperkirakan mencapai 5.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2020 dan 8.000 MMSCFD pada 2030. Namun, eksploitasi gas di Natuna Timur bisa optimal bila ada sejumlah stimulus bagi investor yang akan menggarap blok tersebut.

“Untuk dapat direalisasikan, eksploitasi gas ini memerlukan perubahan regulasi bidang Migas yang sudah baku untuk membuat investor tertarik, seperti mengurangi Government Take (GT) dan memberlakukan Tax Holiday,” ujar Marwan Batubara saat mempertahankan disertasi “Pengembangan Model Natural Resources Management Untuk Pengembangan Blok Migas Natuna Timur Guna Mencapai Sasaran Eksploitasi Migas Yang Berkelanjutan” pada program doktor Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Kamis (5/1).

Marwan Batubara

Disertasi Marwan Batubara ditujukan untuk melihat permasalahan eksploitasi gas secara komprehensif, meliputi aspek teknis, ekonomi, sosial politik dan lingkungan. Promovendus menyarankan pemerintah mengurangi porsi bagi hasil dari 70:30 menjadi 50:50 dalam pembagian profit dengan investor. Selain itum pemerintah juga memberikan tax holiday selama 10 tahun kepada investor. “Ini dengan asumsi dengan asumsi IRR 12,65% dan NPV >0,” ujar Marwan yang memperoleh yudisium sangat memuaskan pada promosi doktor tersebut.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) itu menjelaskan, dari segi sosial politik, posisi geopolitik strategis Natuna terhadap negara luar dan dekat dengan kawasan konflik Laut Cina Selatan perlu kajian lebih lanjut. Namun, penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat harus menjadi ukuran yang perlu dihitung serius.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga kini belum menandatangani Production Sharing Contract atau kontrak bagi hasil (PSC) Blok East Natuna. PSC telah ditawarkan kepada konsorsium Pertamina, ExxonMobil, dan PTT EP Thailand dengan bagi hasil minyak sebesar 40%.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan, seharusnya kontrak tersebut sudah ditandatangani sejak 14 November 2015. Namun karena ada beberapa hal yang dirasa tidak menguntungkan, pemerintah memutuskan untuk menunda teken kontrak Blok East Natuna. Salah satu hal yang masih belum tuntas adalah soal negosiasi bagi hasil (split) antara pemerintah dan konsorsium. Belum ada kesepakatan antara pemerintah dan konsorsium mengenai bagi hasil. “Salah satunya masalah split, pembagiannya, nah itu (fiskal) dari splitnya sedang dibicarakan,” jelasnya.

Menurut Arcandra, dengan menggunakan skema bagi hasl pemerintah masih bisa mengontrol blok natuna. Dia berharap proses tawar menawar bisa segera selesai pada 2017.

Pemerintah serius mengembangkan Blok East Natuna. Besarnya potensi minyak dan gas pada ujung utara Indonesia ini membuat pemerintah yakin bahwa kawasan ini akan memberikan keuntungan untuk negara. Hanya saja, rencana kerja sama pengembangan blok ini direvisi oleh pemerintah karena disinyalir Indonesia tak akan memperoleh keuntungan dengan pengembangan blok ini.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, mengatakan pengembangan Blok East Natuna perlu direvisi karena pada perjanjian yang lalu pemerintah Indonesia hanya memanfaatkan pajaknya saja sehingga Menteri ESDM melakukan revisi agar kondisinya lebih bagus lagi bagi Indonesia.

Menurut Luhut, Blok East Natuna empat kali lebih besar dari Blok Masela. Untuk itu, butuh pengembangan teknologi dalam mengatasi hal ini. Karena itu, hal ini harus menjadi salah satu fokus Kementerian ESDM sepanjang 2016.

Arcandra Tahar sebelumnya menyatakan pengembangan blok migas di wilaah Natuna penuh tantangan. Pertama, soal teknologi karena Blok East Natuna memiliki kadar karbondioksida (CO2) mencapai 72% yang akan mengganggu lingkungan atau merusak pipa. Kedua, tantangan pasar karena saat ini infrastruktur hilir di kawasan tersebut baru ada di West Natuna. Dengan demikian, distribusi hasil gas dari Natuna disalurkan terlebih dahulu melalui pipa gas West Natuna Transportation System (WNTS).

Salah satu opsi yang ditawarkan pemerintah agar pengembangan blok migas di kawasan Natuna ekonomis dan cepat berproduksi adalah mengubah skema bagi hasil di Blok Natuna Timur. Kontraktor blok migas di Laut Natuna nantinya bisa menggunakan skema bagi hasil sliding scale. Ini adalah konsep bagi hasil yang progresif berdasarkan akumulasi jumlah produksi. Namun, pembahasan opsi-opsi tersebut belum final. (DR)