Salah satu pembangkit listrik tenaga biomassa yang sudah beroperasi di Indonesia.

Salah satu pembangkit listrik tenaga biomassa yang sudah beroperasi di Indonesia.

SORONG SELATAN – PT PLN (Persero) mendapat tugas dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik sagu di di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat. Karena untuk membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) kerap terhambat persoalan sosial, BUMN ini pun menawarkan konsep lain, yakni pembangkit listrik tenaga biomassa (berbahan organik, red).

Direktur Utama PLN, Nur Pamudji menuturkan, pembangkit listrik tenaga biomassa yang bakal dibangun di Kais, akan memanfaatkan serat pohon atau batang sagu. Dengan begitu, limbah hasil produksi pabrik sagu itu akan termanfaatkan untuk mensuplai tenaga listrik, berikut energi panas (heat) yang dibutuhkan dalam operasional pabrik itu.  

PLN sendiri telah menunjuk anak perusahaannya, yakni PT Prima Layanan Nasional (PLN) Enjiniring guna melaksanakan proyek energi baru terbarukan itu. Pabrik sagu itu sendiri milik Perusahaan Umum (Perum) Perhutani. Nota kesepahaman (MoU) antara PLN dan Perhutani pun telah diteken Nur Pamudji dan Direktur Utama Perhutani, Bambang Sukmananto, di Kantor Pusat PLN, pekan lalu.

Nur Pamudji menjelaskan, rencana pembangunan industri di Papua sudah lama dibicarakan di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Awalnya PLN diberi tugas membangun PLTA di sana. “Secara teknis gampang, tapi yang jauh lebih sulit adalah penanganan masalah sosial di Papua. Jika masalah sosial sudah teratasi, saya yakin pembangunan proyek ini berjalan lancar,” ujarnya.

Dari situlah kemudian ide membangun pembangkit listrik tenaga biomassa muncul. Selain bahan bakunya tersedia, tenaga listrik yang dibutuhkan pun tidak terlalu besar, antara satu sampai dua Megawatt (MW). Bahan bakarnya bisa dari serat pohon sagu, kayu, atau bisa dari batubara dan gasifikasi batubara. Selain untuk pabrik sagu, listrik yang dihasilkan akan dialirkan juga untuk masyarakat sekitar.

Senada diungkapkan Bambang Sukmananto. Menurutnya, untuk membangun sebuah proyek di Papua ternyata tidak mudah, masalah sosialnya luar biasa. “Namun, saya bersyukur, permasalahan Papua sudah diatasi dengan pembinaan semua suku,” ungkapnya.

Ia pun mengaku gembira, karena kerjasama PLN – Perhutani ini merupakan pelopor pembangunan industri hasil pertanian di Indonesia. Rencananya, Perum Perhutani akan membangun pabrik sagu yang mampu memproduksi 100 ton per hari pada areal 17 ribu hektar.

Gandeng Masyarakat Lokal

Sebetulnya, kata Bambang, areal untuk kebutuhan pabrik sagu sendiri yang efektif hanya 10 ribu hektar, sisa lahan lainnya bisa digunakan untuk menanam bahan baku biomassa. Di Papua sendiri, masyarakat setempat harus rela membeli sagu hingga Rp 18 ribu per kilogram, lebih mahal dibanding harga diluar Papua yang hanya Rp 9 ribu per kilogram.

Gara-gara itu, warga Papua pun meninggalkan sagu sebagai makanan pokoknya, digantikan dengan beras. Atas dasar itulah, Perhutani mendapatkan tugas membangun pabrik sagu di daerah itu. Perhutani pun berjanji akan memasok bahan baku pembangkit biomassa PLN.

“Perhutani juga akan menggandeng masyarakat lokal, agar pasokan bahan baku pembuatan sagu terjamin keberlangsungannya. Langkah ini turut menyelamatkan produksi beras nasional. Karena selama belum ada industri pabrik sagu di Papua, masyarakatnya mulai beralih mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, mengingat harga sagu yang cukup mahal,” terang Bambang.

PLN Enjiniring sendiri, dalam proyek biomassa ini bertugas merancang, membangun, memiliki, mengoperasikan dan memelihara pembangkit tenaga listrik serta energi panas (heat) untuk kebutuhan pabrik pengolahan sagu.

Selain menyediakan lahan dan bahan bakar biomassa, lanjut Bambang, Perum Perhutani juga berjanji membeli listrik dan energi panas yang diproduksi pembangkit listrik biomassa PLN.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)