Kantor Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

JAKARTA – Dengan niat menjadikan Bachtiar Abdul Fatah sebagai terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengirimkan keberatan atas putusan Praperadilan ke Mahkamah Agung (MA). Namun sejauh ini, laporan Kejakgung itu tidak digubris.

Keberatan ke MA itu diajukan Kejakgung, setelah permintaan bandingnya atas putusan Praperadilan dalam kasus bioremediasi Chevron, ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebelumnya, Bachtiar yang dijadikan tersangka oleh Kejakgung, diputus tidak bersalah oleh sidang Praperadilan.

Namun Kejakgung bersikukuh bahwa hakim telah melampaui kewenangannya dalam memutuskan gugatan praperadilan Bachtiar. Kejakgung mengangggap bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka sepenuhnya merupakan kewenangan pihak jaksa penyidik.

Untuk itu, Kejagung telah mengajukan keberatan atas putusan hakim praperadilan ke MA, dengan tembusan ke Komisi Yudisial (KY) dan masih menunggu jawaban atas surat tersebut.

Terkait hal ini, Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Bachtiar Abdul Fatah, mengakui dia dan kliennya mengetahui melalui media bahwa Kejakung telah mengirimkan Surat Laporan ke MA. Menurut Maqdir, apa yang dilakukan Kejakgung itu merupakan upaya diluar hukum.

“Tapi sepengetahuan kami, Mahkamah Agung sampai hari ini tidak menanggapi laporan keberatan Kejakgung itu. Kami juga mengetahui dari media bahwa Kejaksaan Agung menembuskan Suratnya tersebut ke Komisi Yudisial,” ujar Maqdir saat dihubungi pada Kamis, 14 Februari 2013.

Maqdir menjelaskan, lembaga Praperadilan ada untuk melindungi hak asasi seseorang, dari tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum. Misalnya kepolisian atau kejaksaan. Oleh sebab itu, apabila putusan praperadilan dapat dimintakan banding, maka semangat perlindungan hak asasi manusia menjadi jauh dari harapan.

Ia pun mengutip pendapat pakar hukum pidana, Dr. Muzakkir, SH, MH, dalam komentarnya di media beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dapat menjadi embrio dari ketentuan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang baru.

Sidang Praperadilan menerima gugatan Bachtiar melalui putusannya tanggal 27 November 2012.  Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Kejaksaan Agung dan Bachtiar, pengadilan memutuskan bahwa Kejaksaan Agung seharusnya tidak menetapkan Bachtiar sebagai Tersangka dan menyatakan penahanan atas dirinya tidak sah.

Terkait dengan pemanggilan kembali Bachtiar oleh Kejakgung untuk menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi, Maqdir menilai langkah itu ditempuh Kejakgung tanpa landasan hukum yang sah. Seperti diketahui, Kejakgung mengeluarkan panggilan terhadap Bachtiar dan mengatakan di media bahwa pihaknya akan melimpahkannya ke tahap penuntutan.

Tak Bisa Dimintakan Banding

Tentang isi surat Kejakgung ke KY, menurut Maqdir, Kejakgung mempertanyakan kewenangan PN Jakarta Selatan yang melakukan praperadilan. Oleh sebab itu, materi yang dilaporkan oleh Kejakgung tersebut merupakan materi pokok perkara yang telah diputus oleh Pengadilan praperadilan, dan tidak lagi relevan dengan pelanggaran kode etik.

Jika ada ketidakpuasan atas materi pokok perkara, lanjutnya, langkah hukum yang tepat yang seharusnya ditempuh adalah banding dan kasasi. Namun demikian dalam kondisi ini, putusan praperadilan adalah putusan yang final dan tidak dapat dimintakan banding.

“Kami sangat mengharapkan bahwa pihak Kejaksaan Agung tidak meneruskan langkah tersebut namun sebaiknya menghormati proses hukum yang berlaku,” pungkasnya.

Secara terpisah, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, mengaku menyayangkan sikap Kejakgung atas langkah yang diambil dalam perkara Bachtiar.

“Kami menghormati hukum dan terus bekerjasama dengan Kejagung dan pengadilan. Kami berharap semua pihak dapat menghormati keputusan praperadilan, yang telah menilai perkara ini secara obyektif,’ ujar Dony yang dihubungi pada Kamis, 14 Februari 2013.

Dony pun menegaskan, pihaknya tetap berkeyakinan bahwa peninjauan yang obyektif atas fakta-fakta di persidangan, akan dapat menjelaskan bahwa proyek bioremediasi Chevron merupakan proyek lingkungan yang berhasil, dan telah disetujui dan diawasi oleh instansi pemerintah terkait.

“Tidak ada tindakan melawan hukum yang dilakukan para karyawan kami, dan itu telah diputuskan dalam sidang praperadilan lalu,” tandas Dony.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)