JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam mendesak Mahkamah Agung (MA) membatalkan aturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait relaksasi ekspor mineral mentah karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Aturan tersebut dianggap merugikan negara dan masyarakat yang seharusnya menikmati pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat.

Bisman Bakhtiar, Ketua Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil, menegaskan MA diminta mencermati kerugian yang ditanggung pemerintah dan masyarakat karena inkonsistensi pelaksanaan UU Minerba melalui peraturan turunan yang diterbitkan Menteri ESDM.

“Aturan tersebut menyebabkan ketidakpastian iklim investasi yang berdampak pada perlakuan yang tidak adil terhadap pelaku usaha mineral tambang,” tegas Bisman di Jakarta, Selasa (25/4).

Bisman mengatakan, beberapa pelaku usaha mineral tambang sudah menjalankan amanat UU Minerba dengan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter), sementara beberapa yang lain sama sekali tidak beritikad baik membangun smelter tetapi mendapatkan relaksasi ekspor.

Di lain pihak, kata Bisman, peraturan turunan dari UU Minerba tersebut mengaburkan tujuan utama yang tertera dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang kekayaan alam yang harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

Menurut Bisman, seharusnya pelaksanaan program hilirisasi tambang melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi harus tertunda karena tidak adanya konsistensi dalam penerapan aturan tersebut.

“MA patut mencabut aturan tersebut agar pelaksanaan UU Minerba konsisten, benar, tegas, dan berpihak pada kepentingan nasional,” kata dia.

Ahmad Redi, Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, menambahkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017, dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 merupakan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dengan UU Minerba.

“Ketiga regulasi tersebut mengandung cacat formal dan material karena pembentukannya tidak sesuai dengan prosedur baku dalam UU 12 Tahun 2012. Serta secara materil bertentangan dengan UU Minerba dan Putusan MK No. 10/PUU-VII/2014,” ungkap Redi.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP, mengatakan pemerintah harus konsisten dalam melaksanakan UU dan membuat peraturan yang tidak menimbulkan kontroversi serta adil bagi semua pihak.
Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri sebagaimana dimandatkan UU 4/2009 telah sesuai dengan konstitusi, terutama pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan pemanfaatan hasil bumi untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri bermanfaat bagi peningkatan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan industri di dalam negeri, sehingga secara jangka panjang meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian nasional.

“Kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dapat menekan laju eksploitasi sumberdaya mineral, sehingga keseimbangan alam tidak terganggu,” kata Maryati.

Koalisi Masyarakat Sipil sebelumnya telah resmi mendaftarkan gugatan uji materi atas sejumlah ketentuan dan peraturan terkait Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan yang dikaitkan dengan Peningkatan Nilai Tambah melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di dalam Negeri dan Kebijakan Relaksasi Ekspor Mineral ke Mahkamah Agung pada 30 Maret 2017 lalu.

Gugatan uji materi ini bersumber dari perkembangan pelaksanaan kegiatan pertambangan yang dinilai oleh Koalisi diduga inkonsistensi dan malaadministrasi, karena ada bertentangan dengan UU Minerba No 4 Tahun 2009.

Gugatan bertujuan agar pemerintah, dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, memberikan kepastian hukum dengan berpijak pada implementasi hukum yang benar, tegas, dan berpihak pada kepentingan nasional.(RA)