JAKARTA – Kasus PT Freeport Indonesia dinilai menjadi momentum meletakkan dasar-dasar reformasi fiskal yang bertumpu pada prinsip 3C (certainty, clarity, consistency), sehingga menjamin kesinambungan fiskal dan investasi.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, mengatakan pada prinsipnya, investor membutuhkan jaminan kepastian iklim bisnis dan investasi di masa mendatang (fiscal stabilization clause). Hal ini lantaran akan berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang.

“Klausul ini berarti kebijakan fiskal berperan sebagai instrumen yang mampu memberikan kepastian hukum, mendukung iklim investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas, konsisten dan stabil, melalui administrasi yang sederhana, mudah dilaksanakan dan murah,” kata Yustinus di Jakarta.

Menurut Yustinus, pertimbangannya adalah sektor ini membutuhkan investasi yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang, sehingga memiliki potensi risiko yang tinggi (high risk).

Salah satu poin penting yang menjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan Freeport adalah klausul nail down versus prevailing. Pemerintah berpegang pada mandat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), bahwa seluruh klausul perpajakan di rezim perizinan (IUP/IUPK) adalah prevailing, yaitu mengikuti perubahan ketentuan yang berlaku (dinamis).

Disisi lain, Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat tetap meminta sistem nail down, yaitu peraturan yang berlaku adalah peraturan saat kontrak ditandatangani atau perizinan diberikan (statis).

“Dalam konteks fiscal stabilization clause, tuntutan Freeport dapat dipahami sebagai hal yang wajar. Sistem nail down juga tidak tepat jika dipahami semata-mata sebagai keuntungan perusahaan karena tarif yang rendah. Dalam konteks kontrak karya, perusahaan justru membayar PPh 35 persen, jauh di atas tarif yang berlaku yaitu 25 persen,” ungkap Yustinus.

Di sisi lain, pemerintah perlu mendapat jaminan bahwa proyek yang dijalankan menguntungkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. “Di titik inilah pemerintah dan Freeport memiliki ruang negosiasi yang terbuka lebar dan saling menguntungkan,” tukas dia.

Yustinus mengatakan pemerintah tetap dapat memberikan pengecualian berupa pemberlakuan sistem nail down bagi perusahaan yang berinvestasi dalam jumlah signifikan dan dalam jangka waktu panjang. Serta tetap membuka ruang negosiasi bagi penyesuaian tarif pungutan negara, apabila terjadi perubahan kondisi ekonomi yang membaik dan perubahan kebijakan yang lebih kondusif.

Hal ini, kata dia, juga tidak bertentangan dengan Pasal 169 UU Minerba. Bahkan selaras dengan praktik terbaik di dunia internasional tentang fiscal stabilization clause. Dengan demikian, dapat mencapai solusi konkret yang lebih komprehensif, tanpa perlu memperhadapkan kepentingan nasional dengan kepentingan bisnis, karena keduanya adalah dua sisi yang sama pentingnya bagi pembangunan nasional.

“Hal ini sekaligus sebagai bentuk dukungan bagi persiapan BUMN yang kelak akan menjadi pihak yang mengusahakan pertambangan. Hal ini agar terlindungi kebijakan pemerintah, mempraktikkan good governance, dapat dijamin kesinambungan bisnisnya, dan pengusahaan ini menjamin bahwa kemakmuran itu dinikmati seluruh rakyat Indonesia,” tandas Yustinus.(RA)