Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

JOGJA – Kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang menyeret tujuh orang tak berdosa sebagai terdakwa, ternyata ditangani oleh Kejaksaan Agung dengan logika hukum dan perundang-undangan yang terbolak balik.

Hal ini terungkap dalam “Forum Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan” yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Kota Jogja pekan lalu.

Perkara bioremediasi Chevron diangkat menjadi studi kasus dalam forum yang dihadiri para pakar dari berbagai instansi Lingkungan Hidup Daerah, Pusat Studi Lingkungan (PSL), perguruan tinggi, organisasi lingkungan hidup, dunia usaha, serta pemangku kepentingan terkait lainnya itu.

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Drs Sudariyono mengatakan, sudah jelas bahwa kasus bioremediasi Chevron merupakan kasus sengketa lingkungan. Seharusnya, penyelesaian kasus itu mengacu kepada aturan-aturan terkait sengketa lingkungan.

Aturan-aturan terakit sengketa lingkungan yang dimaksud, kata Sudariyono, adalah Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama pasal 1 angka 25. Juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 4 tahun 2013 tentang pedoman penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

Menurut dua aturan itu, tahapan penyelesaian kasus lingkungan dimulai dari verifikasi terhadap pengaduan. Kemudian pertemuan para pihak, penyusunan kesepakatan, tindak lanjut hasil kesepakatan, dan pengawasan hasil kesepakatan.

Penyelesaian melalui pengadilan hanya dilakukan ketika musyawarah tidak bisa tercapai,” ujar Suradiyono mengutip Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 36 tahun 2013. Dalam Peraturan MA itu disebutkan, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan menggunakan mediator.

Namun dalam kasus bioremediasi Chevron, yang terjadi Kejaksaan Agung langsung membawa perkara itu ke pengadilan, tanpa didahului semua prosedur yang diatur dalam UU 32/2009, maupun Permen LH Nomor 4 tahun 2013. Termasuk tanpa berkoordinasi dengan Kementerian LH, sebagai instansi yang diberi kewenangan oleh UU 32/2009 untuk menegakkan hukum dibidang lingkungan.  

Hal senada diungkapka pakar bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Renni. Ia mengaku menemukan banyak kesalahan teknis, yang dilakukan jaksa dalam penanganan kasus bioremediasi. Baik kesalahan dari sisi teknis penerapan aturan, maupun teknis pengujian data serta sampel tanah.

Renni mencontohkan, kesalahan dalam penentuan kandungan tanah tercemar (Total Petroleum Hydrocarbon/TPH) yang boleh diproses menggunakan teknologi bioremediasi. Aturan yang benar adalah yang sesuai dengan Keputusan Menteri (Kepmen) LH Nomor 128 Tahun 2003.

“Sesuai Kepmen LH 128/2003, tanah yang boleh dibioremediasi adalah yang TPH-nya maksimum TPH 15%, untuk diturunkan hingga 1%. Namun penyidik Kejaksaan Agung maupun jaksa penuntut umum ngotot yang boleh dibioremediasi adalah tanah dengan TPH 7,5% sampai 15%,” ujar Renni.  

“Dari sisi sampling juga ada kesalahan metode,” tambah Renni dalam forum yang berlangsung Kamis – Jumat, 27 – 28 Juni 2013 itu. Dari berbagai pemaparan para ahli itu, terang benar dalam kasus bioremediasi Chevron, berbagai logika hukum dan perundang-undangan dibolak-balik oleh jaksa.

Menelanjangi Diri Sendiri

Sejak awal, berbagai dakwaan jaksa dalam kasus bioremediasi sebenarnya memang amat lemah, tidak sesuai aturan serta logika hukum yang benar, dan berbeda dengan para ahli hukum dan ahli bioremediasi yang lain.

Diketahui, dakwaan jaksa hanya merujuk keterangan Edison Effendi, seseorang yang disebut Kejaksaan Agung sebagai ahli bioremediasi, namun tidak pernah dikenal dalam forum bioremediasi di Indonesia, dan pernah dua kali kalah tender proyek bioremediasi Chevron. Entah mengapa dakwaan jaksa itu diamini oleh hakim, dan digunakan untuk menghukum dua kontraktor Chevron.    

Dalam pelatihan itu, Kementerian LH juga menghadirkan Kukuh Kertasafari, salah satu terdakwa dalam kasus bioremediasi Chevron, guna ikut membahas studi kasus yang diangkat. Dalam bukunya, Kukuh membedah dakwaan jaksa dalam kasus bioremediasi.

Dalam bukunya, dakwaan jaksa dibantah satu demi satu secara yang ilmiah dan sederhana oleh Kukuh. Dalam suatu bantahan komprehensifnya, Kukuh memperlihatkan bagaimana jaksa yang memaksakan diri untuk menyalahkan Chevron, justru menelanjangi diri sendiri, karena memperlihatkan kesalahan dan kekeliruannya sendiri.

Kukuh menjelaskan, dengan ilustrasi input, proses, dan output dalam kasus bioremediasi ini, jaksa memperlihatkan bahwa input hanya memiliki tingkat pencemaran sedikit, proses dikatakan tidak berjalan, dan output menunjukkan bahwa tanah yang dibioremediasi tidak tercemar.

“Dengan menjajarkan input, proses, dan output ini saja, jelas terlihat betapa jaksa melakukan kesalahan konyol. Bagaimana bisa input-nya tanah tercemar, tanpa proses bioremediasi, ternyata output-nya menunjukkan tanah tidak tercemar? Ketidak konsistenan ini saja sudah menunjukkan bahwa jaksa tidak mampu memahami masalah dengan baik,” urai Kukuh yang hadir pada hari kedua.

Karena Kurangnya Logika

Ahli Pencemaran Limbah Industri dan Limbah B3 Kementerian LH, Eddy Soentjahjo menyebutkan, perkara bioremediasi Chevron ini sangat menarik diangkat menjadi studi kasus, karena banyak situasi yang bisa dikupas berdasarkan logika atau nalar hukum dan perundang-undangan.

Menurutnya, “Forum Peningkatan Kapasitas SDM Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan” ini biasa disebut juga forum logika. Yaitu forum yang digelar bagi aparatur Kementerian LH, guna mengasah logika dalam menangani berbagai kasus lingkungan.

“Dengan memperkaya kemampuan logika dari berbagai pihak terkait, diharapkan masalah lingkungan dapat tertangani dengan baik. Kedepan, diharapkan tidak ada lagi masalah lingkungan yang ditangani secara tidak tepat, hanya gara-gara kurangnya kemampuan logika semua pihak atas kasus yang ada. Forum semacam ini diharapkan terus dilaksanakan oleh berbagai pihak di berbagai tempat,” ujarnya.

Eddy menambahkan, masalah lingkungan hidup bukanlah semata-mata urusan pasal demi pasal hukum. Tetapi merupakan aspek yang memerlukan penguasaan logika ilmu alam, untuk dapat memahami masalah yang terjadi dan penanganannya.

Forum serupa yang diselenggarakan di Bandung beberapa waktu sebelumnya, kata Eddy, juga melibatkan pemangku kepentingan dari aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)