Smelter pengolahan bijih tembaga PT Smelting Gresik di Jawa Timur.

Smelter pengolahan bijih tembaga PT Smelting Gresik di Jawa Timur.

JAKARTA – Tak terasa, tenggat batas akhir pelaksanaan kewajiban nilai tambah pertambangan lewat pengolahan mineral di dalam negeri, sudah tinggal lima bulan lagi. Jika sampai Januari 2014 nanti baru segelintir pengusaha tambang yang siap mengolah mineralnya di dalam negeri, apa yang harus dilakukan pemerintah?

Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Sjahrir Abu Bakar mengaku ketar-ketir dengan tenggat yang tinggal lima bulan lagi tersebut. Karena hingga saat ini, seolah belum ada opsi lain dari pemerintah bagi yang belum bisa smelter pengolahan mineral di dalam negeri, selain pembatasan produksi sesuai kapasitas yang bisa diolah di dalam negeri.  

“Itu artinya, ekspor mineral akan dibatasi mulai tahun depan. Jika itu terjadi, maka Indonesia diperkirakan bakal kehilangan pendapatan hingga USD 7 – 8 miliar dalam setahun ketika program hilirisasi diterapkan,” ujar Sjahrir kepada Dunia Energi, Selasa, 16 Juli 2013.  

Pertanyaan selanjutnya, kata Sjahrir, siapkah Pemerintah Indonesia menghadapi situasi ini? “Bisa saja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba dan Batubara (Minerba) mengatakan siap. Tapi jangan egosektoral dong. Apakah Kementerian Keuangan siap penerimaan negara terpangkas? Apakah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi siap dengan PHK (pemutusan hubungan kerja) ribuan karyawan tambang?,” lanjutnya.

Maka dari itu, Sjahrir mengaku sejak Juni 2013 lalu sudah menghadap ke Ditjen Minerba, untuk memaparkan solusi yang diusulkan IMA guna menghadapi situasi ini. Konkritnya ialah, dalam lima bulan ini, pemerintah harus tuntas mengklasifikasikan jenis mineral apa yang bisa dengan cepat dilakukan pengolahan di dalam negeri, dan mineral apa yang tidak mungkin dipaksakan dalam waktu cepat.

Untuk nikel dan bijih besi, ujarnya, dalam hitungan IMA sudah siap untuk mulai dilakukan hilirisasi tahun depan. Karena teknologi yang dibutuhkan tidak terlalu mahal, dan sejumlah smelter yang siap mengolah bijih nikel dan bijih besi, sudah tersedia di dalam negeri. Namun untuk copper atau tembaga, tidak mungkin untuk dilakukan pengolahan di dalam negeri, mulai tahun depan. Sejauh ini, smelter tembaga yang siap di Indonesia hanya PT Smelting Gresik. Untuk membangun sejenis itu, butuh minimal 8 tahun.

Toh, kata Sjahrir, IMA tidak berpangku tangan dengan ketidaksiapan smelter tembaga di dalam negeri. Belum lama ini, IMA telah mendorong dua anggotanya yang merupakan produsen tembaga, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, untuk menjalin nota kesepahaman bersama dengan PT Indosmelt, yang sudah siap membangun smelter tembaga di Indonesia.

“Sudah dijalin nota kesepahaman bahwa Freeport dan Newmont akan bawa tembaganya untuk diolah Indosmelt, jika smelter yang dibangun sudah beroperasi. Indosmelt dipilih karena merupakan yang paling siap dan konkrit perencanaannya. Beberapa lainnya ada yang mengajukan penawaran, namun belum jelas dan konkrit rencana pembangunan smelternya. Kita sama yang jelas-jelas sajalah,’ tukasnya.

Selain itu, imbuh Sjahrir, pemerintah harus segera mensinkronkan kebijakan antar Kementerian. Faktanya, sampai saat ini Kementerian Perindustrian dan kementerian ESDM, masih berbeda pemahaman soal hilirisasi mineral tambang. ESDM beranggapan hilirisasi harus sampai menjadi barang setengah jadi atau siap pakai. Sementara Perindustrian cenderung, hilirisasi untuk menyiapkan jenis-jenis mineral apa saja, yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri manufaktur di dalam negeri.

Selanjutnya soal insentif yang akan diberikan kepada pengusaha smelter, dan pengusaha tambang yang mengolah mineralnya di dalam negeri. Sejauh ini, rumusan insentif yang akan diberikan juga belum tuntas. Lalu apakah nantinya hilirisasi mineral berada dibawah payung Perindustrian atau ESDM, masih jadi perdebatan.

Itulah, kata Sjahrir, yang disebut oleh IMA, pemerintah perlu membuat “Road Map” atau peta jalan hilirisasi mineral tambang untuk 2014. Persiapan ini harus tuntas dalam waktu tersisa, yang tinggal lima bulan.  “Kalau berbagai persiapan ini tidak segera dituntaskan, kami khawatir bakal terjadi kekacauan yang luar biasa pada Januari 2014 nanti,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)