JAKARTA – Lima perusahaan produsen batu bara terbesar di Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Adaro Indonesia, PT Berau Coal, PT Arutmin Indonesia dan PT Bukit Asam Tbk hingga empat bulan pertama tahun ini telah melampaui kewajibannya untuk memasok produksi batu baranya ke pasar domestik (domestik market obligation/DMO)

RA Sri Dhamayanti, Komisaris KPC, mengatakan pada tahun ini pemerintah menyetujui produksi batu bara sebesar 60 juta ton. Hingga April, realisasi produksi sebesar 17,5 juta ton. Sebesar 4,6 juta ton untuk kebutuhan domestik dan 12,9 juta ton untuk ekspor.

“Domestik supply ke PLN, Freeport, Pupuk Kaltim. Ekspor ditujukan ke beberapa negara, seperti Jepang, India, China, Malaysia, Thailand, Italia Hongkong, dan Taiwan. Kuota DMO KPC sudah terpenuhi 25%. Ekspor 74% dan domestic 26%,” kata Sri di Jakarta, Kamis (24/5)

Produsen batu bara besar lainnya, Adaro Indonesia pada periode Januari-April 2018 telah memproduksi batu bara sebesar 14,1 juta ton dari kuota produksi 2018 yang disetujui pemerintah sebesar 50 juta ton.

“DMO 25% maka tahun ini 12,5 juta. Sesuai rencana produksi Januari-April sebesar 14,1 juta ton, jadi kalau 25% sebesar 3,5 juta ton untuk domestik dan yang terealisasi 4,1 juta ton, maka 580 ribu ton lebih tinggi dari rencana,” ungkap Lie Luckman, Direktur PT. Adaro Indonesia.

Adaro menyalurkan batu bara ke beberapa pembangkit listrik, seperti Cirebon Electric Power, General Energy Bali, Paiton 3, 7, 8, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Indonesia Power, Jawa Power, dan Jenoponto.

“Selalu ada komunikasi. Jadi kami memenuhi permintaan dari PLTU, bahkan sebagian lebih tinggi dari target,” ungkap Lie.

Rudi Hendrawan, Deputi Direktur Berau Coal, mengatakan pada tahun ini Berau Coal mendapat kuota produksi batu bara sebesar 33 juta ton, sebesar 8,25 juta ton untuk DMO.

“Namun pada awal produksi 11,2 juta ton dan 25% atau sebesar 2,7 juta ton. Kami juga memiliki kontrak kelistrikan 5,3 juta ton. Realisasi hingga Mei 1,9 juta sesuai penjadwalan PLN dan IPP di Indonesia, jadi untuk DMO kami sudah memenuhi,” ungkap Rudi.

Ido Hutabarat, Chief Executive Officer Arutmin Indonesia, menyatakan pemerintah menyetujui produksi batu bara Arutmin tahun ini sebesar 28,8 juta ton, yang 25% atau sekitar 7,2 juta ton dialokasikan untuk DMO.

“Hingga Mei sudah suplai DMO 3,25 juta ton. Produksi hingga April sebesar 13 juta,” tukas Ido.

Produsen lainnya, PT Kideco Jaya Agung menyatakan RKAB yang ditetapkan tahun ini sebesar 32 juta ton yang berarti kewajiban DMO sebesar 8 juta ton.

“Hasil produksi sampai April 2018 sudah jual domestik 32% dari produksi, atau diatas DMO,” Muhammad Kurniawan, President Direktur Kideco.

Adi Ubaidilah, Direktur Niaga Bukit Asam, mengatakan realisasi penyaluran batu bara ke PLN hingga April dengan realisasi produksi sebesar 3,58 juta ton adalah 2,43 juta ton. “Kami sudah diatas DMO sekitar 175%,” kataya.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan kelima perusahaan tersebut adalah lima kontributor terbesar produksi batu bara nasional.

“Kalau hitungan dari produksi nasional mereka itu lebih dari 50 % (produksi nasional),” ungkap Bambang

Pemerintah sendiri optimis dengan target DMO tahun ini sebesar 121,8 juta ton akan tercapai. Apalagi dengan adanya sanksi yang disiapkan jika ada perusahaan tidak sesuai dalam penyaluran DMO. Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Mei realisasi DMO mencapai 32,6 juta ton.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 23 K/30/MEM/2018, persentase DMO minimal 25% diwajibkan untuk para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah memasuki tahap operasi produksi.

Bagi perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO tersebut, akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahun depan. Selain itu, pengurangan kuota ekspor pun akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi.

Peraturan lainnya adalah apabila perusahaan mampu melampaui kewajiban DMO, maka perusahaan diperbolehkan untuk mengajukan penambahan produksi sebesar 10% dari RKAB.

“Mereka yang mau support PLN (domestik) dapat insentif produksi (penambahan) 10%,” tandas Bambang.(RI)