JAKARTA – Di tengah pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikkan harga minyak dunia, tanpa diikuti penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), jenis premium dan solar membuat kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) tertekan.   Pasalnya, Pertamina harus menjual premium dan solar di bawah harga keekonomian, sehingga menimbulkan potensi kerugian (potential loss).

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan  pemerintah berada pada posisi sulit untuk memutuskan menaikkan atau tidak harga premium dan solar. Jika harga BBM naik, beban Pertamina berkurang. Namun, dampak kenaikan harga justru berpotensi memperparah perekonomian Indonesia, terutama  melemahkan daya beli rakyat dan memicu kenaikkan inflasi.

“Pasalnya, BBM merupakan variabel utama dalam proses produksi dan distribusi barang. Tidak bisa dihindari, kenaikan inflasi menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok menjadi mahal, yang akan semakin membebani rakyat berpenghasilan tetap, terutama rakyat miskin,” kata Fahmy kepada Dunia Energi, Kamis (13/9).

Namun, kalau pemerintah tidak menaikkan harga BBM, beban Pertamina makin berat, potential loss semakin membengkak. Pada saat harga minyak dunia di kisaran US$59 per barrel, potential loss Pertamina mencapai sekitar Rp 19 triliun. Dengan kenaikkan harga minyak dunia mencapai US$ 71,84 barel, potential loss Pertamina mencapai Rp 23 triliun, kalau Pemerintah bersikukuh tidak menaikan harga BBM. Potential loss sebesar Rp23 triliun tidak akan membuat Pertamina rugi, namun raihan laba akan terpangkas signifikan.

Pada semester I 2018, Pertamina masih mencatatkan laba usaha sebesar Rp 5,2 triliun, turun cukup drastis dibanding periode sama pada 2017, yang laba usaha bisa mencapai hingga Rp18,7 tiliun.

Dalam menghadapi dilema yang mengarah pada trade off, pemerintah tentu harus mendahulukan kepentingan rakyat, dengan memutuskan tidak menaikkan harga BBM hingga 2019. Tambahan subsidi solar hingga Rp2.500 per liter cukup tepat membantu Pertamina dalam mengurangi potential loss.

Tapi harga BBM kata Fahmy tetap terpaksa harus dinaikkan, apabila harga minyak dunia terus naik. Dengan harga minyak dunia mencapai US$100 per barrel, terlalu berat beban APBN untuk menambah subsidi solar, tanpa menaikkan harga BBM.

“Selama harga minyak dunia masih di bawah US$ 100 per barel, mestinya tidak perlu bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM akan semakin menurunkan daya beli masyarakat dan menaikkan inflasi, yang memberatkan rakyat miskin, serta berpotensi memperpuruk perekonomian Indonesia,” kata Fahmy.

Sementara itu, Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, meminta pemerintah tetap konsisten dengan kebijakan menahan harga BBM pada saat kondisi ekonomi masih belum stabil. Kenaikan  harga BBM berpotensi memicu aksi demonstrasi.

Menurut Mamit, ditengah harga minyak dunia yang terus naik dan dolar Amerika Serikat yang menguat, Pertamina tentu terbebani dengan kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan harga premium dan solar. Apalagi untuk Pertalite, Pertamina juga berhati-hati untuk menaikan harga karena jika terlalu tinggi disparitas harga maka akan banyak yang beralih kembali premium. Salah satu solusinya adalah pemerintah harus menaikan subsidi, seperti rencana untuk menambah subsidi solar dari Rp500 menjadi Rp2.000 per liter.

“Selain itu, untuk premium saya kira perlu dipertimbangkan minimal ada penambahan subdisi atau ada bentuk kompensasi lain untuk Pertamina.
Dengan saat ini banyak diberikannya penugasan untuk blok terminasi dan moncernya sektor hulu saya kira ini  sangat banyak membantu Pertamina,” ungkap Mamit.

Pilihan untuk menambah subsidi lebih rasional dan lebih menguntungkan bagi pemerintah apabila harga minyak dunia tetap merangkak naik. Apabila harga BBM yang dinaikan dominonya pasti sangat besar.

“Kenaikan Rp100 saja akan menaikan inflasi sebesar 0,01%. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang akan merangkak naik. Selain itu juga pasti roda perekonomian akan langsung terganggu,” tandas Mamit.(RI)