CIREBON – PT Pertamina (Persero) menegaskan komitmen untuk mencari sumber minyak baru dari luar negeri untuk mengimbangi peningkatan konsumsi di tanah air. Untuk itu, pada 2017 perseroan mengalokasikan dana US$ 300 juta untuk mendukung aktivitas di luar negeri.
Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengatakan produksi dari domestik dipastikan tidak akan mampu mengimbangi kebutuhan minyak yang terus meningkat. Apalagi kondisi sumur-sumur migas yang ada sudah berumur tua sehingga secara alami produksi terus menurun. Disisi lain, penemuan cadangan minyak baru juga belum terjadi.

Data Pertamina dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukan kebutuhan minyak di tanah air bisa mencapai 1,6 juta barel per hari (bph) pada 2020, kontribusi minyak nasional hanya 642 ribu bph. Pertamina mensuplai dari domestik diperkirakan hanya 277 ribu bph dan sisanya baru lapangan overseas.

“Ini juga belum cukup sehingga Pertamina perlu mengiatkan untuk mendapatkan cadangan-cadangan minyak di luar,” kata Syamsu dalam Media Gathering Direktorat Hulu Pertamina di Cirebon, Jawa Barat, Minggu (9/4).

Fasilitas produksi migas di Blok 405a Aljazair yang kini dioperasikan Pertamina setelah diakuisisi dari ConocoPhillips.


Menurut Syamsu, untuk merealisasikan target produksi 1,9 juta barel oil equivalen per day (BOEPD) pada 2025 guna mendukung pertumbuhan perekonomian nasional Pertamina akan menggencarkan akuisisi aset migas. Bahkan akuisisi aset dari luar negeri diandalkan mampu menyumbang 33% target produksi tersebut.
Rencana akusisi atau pencarian minyak di luar negeri sangat sesuai dengan road map Pertamina di sektor pengolahan. Perseroan sudah mulai mengembangkan dan meningkatkan kapasitas empat kilang yang sudah ada dan membangun dua kilang baru.
“Jika kita punya aset diluar bisa kita bawa pulang. Kita juga tingkatkan kapasitas kilang, sehingga minyak dari luar bisa dikelola di Indonesia. Dengan begitu impor produk bisa dikurangi,” ungkap Syamsu.
Saat ini Pertamina sudah memiliki tiga blok di luar negeri yang telah berproduksi, yaitu di Aljazair, Irak dan Malaysia. Pertamina juga tengah mempercepat kajian untuk segera melakukan kegiatan produksi di Nigeria dan Gabon.
Selain itu juga terdapat tujuh blok yang sudah dalam tahap eksplorasi, antara lain Namibia, Tanzania, Myanmar, Perancis, Italia, Kolombia dan Canada. “Jadi sekarang kita bersyukur Pertamina ada di 12 negara,” kata Syamsu.
Menurut dia, sejumlah langkah yang dilakukan Pertamina tentu tidak lepas dari upaya memenuhi target pemerintah yang mencanangkan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian keempat terkuat setelah China, Amerika, dan India, dengan GDP US$ 15,432 miliar pada 2050.
“Secara nasional sesungguhnya kebutuhan energi nasional jauh lebih dari cukup. Pada 2015 produksi energi nasional 354 ton equivalen minyak, yang terdiri 271 ton batu bara dan selebihnya sebanyak 113 ton minyak, gas dan energi terbarukan,” papar Syamsu.
Sementara konsumsi energi sebesar 195 ton, sebenarnya energi nasional itu mengalami surplus. Hanya yang menjadi dilema, konsumsi energi sebesar itu, dalam kenyataanya dipenuhi 113 ton (60%) dari migas dan energi terbarukan. Kondisi demikian jika tidak diantisipasi, Indonesia mengalami defisit migas.

Menurut Syamsu, meskipun dalam data yang ada Indonesia masih memiliki 60 cekungan, hal itu masih tidak dapat dimasukan dalam hitungan cadangan terbukti. Saat ini cadangan minyak Indonesia itu di urutan 26 dunia, sekitar 3,8 miliar barel. Hal yang sama dengan cadangan gas Indonesia di urutan ke 14 dengan cadangan 100 TCF.

“Langkah Pertamina mengelola blok migas di luar negeri sesungguhnya untuk memperkuat cadangan dan produksi nasional. Karena produksi migas di overseas itu hasilnya akan dibawa pulang untuk diolah di kilang-kilang yag ada di Indonesia untuk memenuhi konsumsi BBM domestik,” tandas Syamsu.(RI)