JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membukukan laba bersih Rp4,47 triliun pada 2017, melonjak 121% dibanding 2016 yang hanya Rp2 triliun.

Kenaikan laba bersih ditopang kenaikan pendapatan sebesar 38% menjadi Rp17,47 triliun pada 2017 dibanding tahun sebelumnya Rp14,05 triliun. Disisi lain, beban pokok naik 13,5% dari Rp9,65 triliun pada 2016 menjadi Rp10,96 triliun pada tahun lalu.

Seiring dengan itu, Bukit Asam meraih laba kotor Rp8,5 triliun, naik 93% dibanding 2016 sebesar Rp 4,4 triliun.

“Pencapaian itu (kinerja) didukung kemampuan manajemen perusahaan dalam merumuskan strategi di antaranya dengan peningkatan produksi, optimasi harga jual, serta efisiensi biaya,” ujar Arviyan Arifin, Direktur Utama Bukit Asam, Senin (12/3).

Kenaikan pendapatan Bukit Asam merupakan hasil upaya penetrasi pasar untuk menjual batu bara low to medium calorie di tengah membaiknya harga batu bara.

Secara volume, penjualan batu bara Bukit Asam pada 2017 mencapai 23,63 juta ton, naik 2,87 juta ton atau 14% dibanding tahun sebelumnya 20,75 juta ton. Penjualan didominasi pasar domestik, yakni sebesar 61% dan sisanya ekspor.

“Penjualan domestik meningkat mencapai sebesar 2,13 juta ton, naik 17% dibanding 2016. Ekspor naik sembilan persen,” kata dia seperti dikutip Antara.

Menurut Arviyan, harga jual rata-rata pada 2017 naik 24%, dari Rp658.017 per ton pada 2016 menjadi Rp814.216 per ton pada 2017. Kenaikan itu seiring dengan dengan penguatan harga batubara Newcastle maupun harga batu bara thermal Indonesia yang meningkat masing-masing sebesar 34% dan 32% dibanding harga rata-rata 2016.

Target 2018

Pada 2018, Bukit Asam merencanakan produksi batu bara sebesar 25,54 juta ton, naik dari target 2017 sebesar 21,92 juta ton. Penjualan ditargetkan mencapai 25,88 juta ton, dengan komposisi sekitar 53% atau 13,74 juta ton untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya 12,15 juta ton untk ekspor.

“Secara total, target penjualan 2018 meningkat 18% dibanding target 2017 lalu yang sebesar 21,97 juta ton,” ungkap Arviyan.

Dia juga mengatakan kebijakan pemerintah mengatur harga batubara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) tidak terlalu berpengaruh signifikan bagi kinerja perseroan.

“DMO itu 25% dari produksi, sementara 75% lainnya dijual dengan harga lebih tinggi,” kata Arviyan.

Menurut Arviyan, apabila harga batu bara saat ini bertahan hingga akhir tahun maka harga rata-rata penjualan (average selling price/ ASP) batubara perseroan pada 2018 masih akan lebih tinggi dibanding tahun lalu.

Untuk mengantisipasi pengaturan harga DMO, Bukit Asam akan menjual batu bara dengan kalori menengah-tinggi. “Harga batu bara berkalori tinggi tentunya lebih tinggi dibandingkan dengan batu bara kalori rendah menengah,” tandas Arviyan.(AT)