JAKARTA – Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) meminta pemerintah mendorong perkembangan industri substitusi impor. Kebijakan tersebut diharapkan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan meningkatkan porsi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di industri listrik nasional.

“Sebenarnya, payung besar dari industri peralatan listrik nasional ada di industri substitusi impor nasional. Industri inilah yang perlu didorong agar ketergantungan kita pada impor peralatan listrik dapat ditekan,” ujar Priamanaya Djan, Sekretaris Jenderal APLSI, di Jakarta akhir pekan lalu.

Priamanaya mengatakan, perhatian kepada pengembangan industri substitusi impor masih sangat kurang sejak krisis ekonomi 1998. Padahal, pasar di dalam negeri sangat besar seiring upaya pemerintah merealisasikan proyek kelistrikan 35 ribu megawatt (MW).

“Tapi, pasar yang besar ini hanya dinikmati oleh industri peralatan listrik negara lain,” kata dia.

Menurut Priamanaya, pada proyek 35 ribu MW terdapat investasi lebih dari Rp 1.000 triliun yang memiliki nilai pasar yang sangat besar. Selain industri konstruksi, semestinya industri substitusi impor peralatan listrik dapat menikmati pasar tersebut.

Tidak hanya itu, permintaan listrik nasional akan terus tumbuh pesat sehingga permintaan peralatan listrik tidak akan pernah menurun.

“Perekonomian tumbuh positif tiap tahun, permintaan listrik tiap tahun bertambah sekitar 5000 sampai 7000 MW, sejauh ini kebanyakan pasarnya diisi oleh impor,” ungkap Priamanaya.

Dalam proyek 35 ribu MW dibutuhkan transmisi sepanjang 46.000 kilometer (km) atau selingkaran planet bumi. Sejak diluncurkan 2015, pembangunan transmisi menyerap anggaran sebesar Rp 200 triliun untuk lima tahun. Pembangunan termasuk gardu induk, tower, dan konstruksinya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia pada Januari 2017 sebesar US$ 11,99 miliar. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 14,54% jika dibanding periode yang sama tahun lalu.

Shariyanto, Kepala BPS, mengatakan impor yang paling besar lebih kepada kebutuhan peralatan mekanik, seperti impor mesin dan pesawat mekanik yang mencapai US$ 1,74 miliar dan mesin peralatan listrik yang mencapai US$ 1,36 miliar. Alhasil, impor non migas mengalami kenaikan 10,24 %.

Menurut Priamanaya, kebijakan industri substitusi impor dapat mendorong TKDN diberbagai proyek pembangunan infrastruktur listrik pemerintah, utamanya untuk transmisi proyek 35 ribu MW. Pengembangan industri substitusi impor peralatan listrik ini sangat realistis sebab teknologi konstruksi baja dan sebagainya sudah cukup dikuasai oleh tenaga ahli di dalam negeri.

Saat ini, TKDN di transmisi mencapai lebih dari 60 %. TKDN ini perlu dioptimalkan, agar dapat pula mendorong industri baja nasional.

“Kelemahan kita masih disoal turbin dan sedikit diboiler. Jadi, pembangkitnya dari luar tapi kita kejar TKDN di transmisi atau di sutet itu dalam negeri saja,” tandas Priamanaya.(RA)