Kukuh Kertasafari.

Kukuh Kertasafari.

JAKARTA – “Saya adalah korban dari tafsir hukum yang dipaksakan!,” itulah kalimat pertama yang Kukuh Kertasafari ucapkan dalam wawancara awal Maret 2014 lalu, terkait kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang yang telah menyeretnya menjadi salah satu terpidana di antara tujuh terpidana lainnya.

“Saya tidak terlibat sama sekali di dalam proyek bioremediasi ini. Saya menjadi tersangka kasus korupsi, hanya karena jaksa menganggap tanah terkontaminasi yang diklaim masyarakat dan dibahas oleh saya bersama tim-tim terkait dalam rapat, akhirnya dibersihkan dalam proyek bioremediasi yang dituduh bermasalah oleh Kejaksaan Agung (Kejagung),” tutur karyawan PT CPI ini.

“Ini sama saja bahwa orang tua dapat dipenjara karena anaknya yang sudah dewasa menabrak seseorang meskipun orang tua tidak terlibat. Sebabnya gampang, karena kalau tidak ada orang tuanya maka anak itu tidak ada (tidak lahir, red) sehingga tidak ada anak yang menabrak. Aneh sekali bukan?” terang Kukuh.

Menurut Kukuh, sebagai team leader produksi, tugasnya hanya memastikan tidak ada potensi gangguan produksi minyak yang disebabkan klaim dari masyarakat mengenai tanah terkontaminasi tersebut. Selain itu sejak bertugas di Minas, Kukuh tahu bahwa proyek bioremediasi yang ada di wilayah operasi minyak Minas adalah proyek lingkungan yang sah dan sukses.

Kukuh menjelaskan bahwa survey atas klaim masyarakat pun dikerjakan oleh tim-tim terkait termasuk pemeriksaan lab atas sampel tanah dari lokasi yang diklaim tersebut. Oleh karena itu dirinya merasa heran dengan tuduhan bahwa dirinya memanipulasi tanah yang tidak terkontaminasi menjadi terkontaminasi, menyuruh PT. Sumigita Jaya melakukan bioremediasi, hingga membuat laporan kepada Rumbi yang bukan atasannya.

“Semua tuduhan itu jelas-jelas keliru karena bukan bagian dari pekerjaan saya dalam memproduksi minyak. Sampel tanah dari lahan yang diklaim itu dites di lab dengan prosedur ketat dan yang pasti saya bukan anggota tim lab!,” jelas Kukuh berapi-api.

Mimpi Buruk Masuk Bui

Menurut Kukuh, saat yang terberat adalah sewaktu dirinya harus mendekam di tahanan Kejaksaan Agung selama 63 hari, terhitung sejak tanggal 26 September 2012 sehingga harus tinggal jauh dari keluarganya yang berada di Sumatera.

“Waktu itu benar-benar saat yang sangat sulit bagi kami. Anak-anak begitu terpukul hingga prestasi mereka di sekolah juga sempat terganggu. Mereka malu,” ujar Kukuh dengan miris.

Saat itu ia mengaku sangat mengkhawatirkan kondisi kelima anaknya di sekolah. Ia khawatir orang-orang akan memperlakukan anak-anaknya berbeda setelah berita mengenai dirinya beredar. Tak ingin anak-anaknya mengalami kesusahan akibat tuduhan palsu yang dijatuhkan kepadanya, ia pun memutuskan untuk tak berdiam diri.

Kukuh pun segera melakukan kunjungan ke rumah keluarga besarnya, untuk memberikan penjelasan kepada mereka satu per satu. Ia juga mengunjungi tiga sekolah tempat anak-anaknya menuntut ilmu, dan memberikan penjelasan kepada guru dan kepala sekolah mereka.

“Saya tidak ingin anak-anak saya malu. Secara khusus saya datangi sekolah mereka satu per satu untuk menjelaskan permasalahan ini kepada guru dan kepala sekolah masing-masing,” kenang Kukuh.

Bebas di Praperadilan

Kukuh sangat bersyukur ketika hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2012 mengabulkan permohonan praperadilan, dan membebaskannya dari tahanan, sehingga dia bisa kembali berkumpul bersama keluarganya. Hanya saja dia masih gundah dengan apa yang akan terjadi ke depan.

“Memang keluarga dan teman-teman di Chevron memberikan dukungan penuh, tetapi saya tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang di luar sana. Apalagi pemberantasan kasus korupsi sedang marak, saya yakin banyak dari mereka yang bertanya-tanya, apakah ini benar?” ujar Kukuh.

Toh nasib Kukuh dan keluarganya masih belum menunjukkan titik terang meskipun pada sidang-sidang lalu, menurut Kukuh, sangat jelas fakta-fakta yang menunjukkan tidak adanya alasan untuk terus menuduh dirinya bersalah.

“Sayangnya, majelis hakim pada pengadilan Tipikor lalu tidak mengambil putusan yang obyektif dan adil. Sudah jelas saya sendiri tidak terlibat proyek ini, dan selama persidangan tidak ada bukti-bukti soal kerugian negara, pelanggaran hukum atau keuntungan pribadi seperti yang dituduhkan. Justru sebaliknya para ahli dan pejabat pemerintah berwenang, telah mengkonfirmasi di persidangan bahwa proyek bioremediasi itu sah dan berhasil,” jelas Kukuh.

“Semoga majelis hakim pengadilan banding dapat memegang amanah untuk benar-benar memeriksa kasus saya sebagai korban proses hukum yang tidak standar,” pungkasnya.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)