JAKARTA – Pemerintah diminta mempertimbangkan opsi mengambil alih 100% saham PT Freeport Indonesia dengan menunggu hingga kontrak berakhir pada 2021. Meskipun ada ancaman arbitrase dari Freeport-McMoRan Inc, induk usaha Freeport Indonesia, pemerintah diminta tidak mundur karena banyak permasalahan yang bisa membantu pemerintah berlaga di arbitrase.

Amien Rais, Ketua Umum Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Ketua MPR periode 1999-2004, mengungkapkan apabila Freeport mengancam arbitrase karena pemerintah tidak mau membahas perpanjangan kontrak, salah satu persoalan yang bisa diangkat dan bisa menjadi senjata pemerintah Indonesia di arbitrase adalah isu lingkungan.

“Kejahatan lingkungan, sejak 50 tahun lalu rata-rata limbah yang dibuang ke berbagai sungai mencapai jumlah 700 ribu ton per hari. Beberapa tahun lagi jumlah limbah itu diperkirakan akan mencapai 6 miliar-7 miliar ton,” kata Amien pada diskusi bertajuk “Menggugat Kesepakatan Pengelolaan Tambang Freeport” di Gedung DPR Jakarta, Kamis (26/7).

Pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebelumnya telah menandatangani kesepakatan dengan Freeport-McMoRan untuk bisa menguasai 51% saham Freeport Indonesia melalui dua skema. Pertama, membeli 40% hak partisipasi Rio Tinto, mitra usaha Freeport. Serta kedua, membeli 100% saham PT Indocopper Investama dari Freeport-McMoRan untuk bisa menguasai 9,36% saham Freeport Indonesia. Untuk transaksi tersebut, Inalum harus membayar total US$3,85 miliar.

Freeport-McMoRan dalam laporannya, Rabu (25/7), mengharapkan seluruh negosiasi, transaksi dan perjanjian definitif dengan Inalum dan pemerintah Indonesia bisa tuntas pada paruh kedua 2018. Penuntasan tersebut mencakup perjanjian pembelian dan penjualan, perpanjangan dan stabilitas hak pertambangan jangka panjang Freeport Indonesia hingga 2041.

Freeport juga mensyaratkan adanya perjanjian pemegang saham antara Freeport-McMoRan dan Inalum terhadap kesinambungan manajemen Freeport-McMoRan atas operasi Freeport Indonesia dan menangani pengaturan tata kelola, dan penyelesaian masalah peraturan lingkungan yang tertunda.

Disisi lain, hingga perjanjian definitif ditandatangani, manajemen Freeport-McMoRan tetap menyiapkan opsi membawa masalah pengelolaan tambang Grasberg ke arbitrase berdasarkan prosedur penyelesaian perselisihan.

Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan, mengungkapkan ancaman arbitrase sengaja dibuat menakutkan, apalagi pemerintah diancam harus mengeluarkan dana US$6 miliar jika kalah di arbitrase.

Padahal jika pun kalah, kata Fuad, pemerintah tetap bisa memiliki 100% saham Freeport. Dengan potensi keuntungan yang selalu didengungkan, seharusnya kerugian dari arbitrase bisa ditutup dalam waktu beberapa tahun.

“Kalau masuk arbitrase kita kalah, ya udah enggak papa bayar US$6 miliar lebih mahal, tapi kita pegang 100% saham,” kata dia.

Fuad mengatakan lewat panggung arbitrase justru pemerintah bisa membeberkan kiprah Freeport selama beroperasi di Indonesia, khususnya masalah lingkungan. Jika segala dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan Freeport terungkap, pemerintah justru bisa tidak perlu memenuhi apa yang dituntut Freeport di arbitrase.

“Kita bisa mengangkat banyak isu yang menarik internasional, yakni lingkungan. Apalagi ada laporan BPK. Internasional sudah tahu, bukan rahasia umum bagaimana dahsyatnya kerusakan lingkungan itu. Mungkin malah dia pergi, malah dia yang suruh bayar, ada kemungkinan yang nuntut US$6 miliar pun tidak usah bayar, malah dibayar ganti rugi,” kata Fuad.

Menurut Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, permasalahan lingkungan yang diduga kuat dilakukanFreeport harus sangat dicermati. Sesuai hasil penelusuran dan kajian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta audit BPK pada 2016, ditemukan bahwa Freeport telah melakukan perusakan lingkungan di area sekitar tambang.

Untuk itu BPK telah menetapkan sanksi atas kerugian kerusakan lingkungan periode 2013-2015 terhadap Freeport bernilai Rp 185 triliun. Di samping itu, Freeport pun terbukti mengabaikan pembayaran pajak izin pakai peminjaman hutan dan juga penggunaan air tanah.

Padahal menurut Marwan, jika sanksi kerusakan lingkungan tersebut dipaksakan untuk dibayar, maka pemerintah tidak perlu harus mengeluarkan dana untuk membayar divestasi saham tersebut. Jika Freeport menolak nilai sanksi yang dihitung BPK, pemerintah pun bisa menegosiasikan untuk dilakukannya perhitungan ulang dengan memanfaatkan jasa konsultan lingkungan independen.

“Minimal, pemerintah bisa menggunakan nilai sanksi kerusakan Iingkungan tersebut untuk memperoleh harga saham yang lebih murah,” tandas Marwan.(RI/AT)