Kegiatan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia.

Kegiatan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia.

JAKARTA –  Vonis bersalah atas lima karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dan kontraktornya pada kasus bioremediasi, merupakan suatu bentuk kriminalisasi yang sangat mengkhawatirkan bagi industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, serta mendorong sektor yang menjadi tulang punggung penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu ke jurang keterpurukan.  

Pendapat ini diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil, dalam pers rilisnya di Jakarta, Rabu, 24 Juli 2013. Ia mengaku sangat prihatin atas keputusan bersalah yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada pekerja Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan kontraktornya terkait kasus Bioremediasi.

Menurut Dipnala, IPA dan para anggotanya percaya bahwa kepastian hukum dan regulasi sangat diperlukan, untuk menciptakan iklim investasi dan produksi yang stabil. Namun putusan pengadilan tipikor, telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi para anggota IPA.

Ketidakpastian hukum ini muncul, mengingat dalam proses peradilan, dua institusi pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) selaku pihak yang mengawasi dan menyetujui proyek bioremediasi Chevron, telah menyatakan proyek itu taat hukum dan perundang-undangan.

Namun tetap saja, para karyawan Chevron dan kontraktornya divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan tipikor dalam kasus bioremediasi. Terlebih, proyek bioremediasi dinaungi oleh Production Sharing Contract (PSC) migas, yang merupakan kontrak bisnis murni dalam ranah perdata, antara Pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas dan Chevron selaku KKKS.    

“Putusan pengadilan tersebut akan memberikan konsekuensi yang luas bagi industri migas, dan berdampak negatif terhadap iklim investasi di Indonesia, di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi guna menjaga produksi migas, guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tandas Dipnala Tamzil.

Kriminalisasi terhadap Chevron selaku Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKS) migas di Indonesia, lanjutnya, merupakan perkembangan yang sangat mengkhawatirkan bagi  para pelaku industri migas, baik perusahaan nasional maupun multinasional.

“Kriminalisasi ini telah  menimbulkan kecemasan yang tinggi di kalangan pekerja Kontraktor KKS sehingga dapat menyulitkan dan menurunkan efektifitas operasi migas di Indonesia,” kata Dipnala lagi.  

Ia pun kembali mengingatkan, Kontrak Kerjasama migas atau yang lazim pula disebut Production Sharing Contract (PSC) migas, merupakan kontrak bisnis. Oleh karena itu, perselisihan yang timbul dari implementasi proyek KKS, sepanjang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, harus diselesaikan sesuai proses penyelesaian perselisihan menurut ketentuan KKS yang berdasarkan prinsip hukum perdata, bukan hukum pidana.

Toh demikian, Dipnala mengaku IPA dan seluruh anggotanya berkomitmen untuk tetap beroperasi dengan menjunjung tinggi etika dan integritas usaha,  serta mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“IPA dan seluruh anggotanya mempromosikan tata kelola usaha yang baik (good corporate governance), tidak hanya di lingkungan sektor migas, tetapi juga di seluruh lingkup komunitas usaha di Indonesia,” tegasnya. Maka dari itu, IPA berharap kasus bioremediasi dan berbagai kasus lain yang timbul da,lam hubungan PSC Migas, bisa diselesaikan dengan jalur yang benar, bukan malah dikriminalkan.

(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)