Dari kiri ke kanan: Widodo, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Ricksy Prematuri, dan Herlan bin Ompo, para terdakwa kasus bioremediasi saat melaporkan diskriminasi hukum yang menimpa mereka ke Komnas HAM.

Dari kiri ke kanan: Widodo, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Ricksy Prematuri, dan Herlan bin Ompo, para terdakwa kasus bioremediasi saat melaporkan diskriminasi hukum yang menimpa mereka ke Komnas HAM.

JAKARTA – Analisa yang disampaikan oleh pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) DR Mudzakkir, SH, MH, dalam diskusi Rabu lalu, menjelaskan bahwa secara makro proses hukum yang menyeret kasus bioremediasi yang merupakan proyek pemulihan lingkungan adalah efek dari gerakan anti-korupsi. Mudzakkir menilai bahwa gerakan anti korupsi harus tetap dikontrol dengan penerapan aturan hukum yang baik dan benar yang bisa mengarahkan pada proses penegakan hukum yang adil sehingga tidak ada korban.

“Saya mengkritisi UU Anti Korupsi yang lebih pada melansir gerakan anti korupsi daripada membuat aturan hukum yang adil.  Karena tidak adil inilah, membuka kemungkinan pemberian wewenang yang berlebihan dan bersifat terbuka. Jika dipadukan dengan gerakan anti korupsi tadi, maka yang terjadi akhirnya ialah kasus-kasus yang sebelumnya tidak masuk ranah hukum tindak pidana korupsi, ya dipidanakan saja,” ujar Mudzakkir.

Mudzakkir menjelaskan bahwa dalam kasus bioremediasi, jelas sekali dari substansi hukumnya bahwa ini sesungguhnya kasus lingkungan hidup. Mestinya temanya ialah pelanggaran terhadap hukum lingkungan, namun semua ini disingkirkan sehingga ini masuk ke tindak pidana korupsi.

“Dalam UU Tindak Pidana Korupsi sudah ada Pasal 14, yang intinya: terhadap satu tindak pidana lain yang diatur UU lain menjadi tindak pidana korupsi apabila dalam UU lain, hal tersebut adalah tindak pidana korupsi. UU lingkungan hidup tidak menjelaskan apabila pelanggaran terhadap UU lingkungan hidup itu termasuk tindak korupsi,” jelas Mudzakkir yang menilai tidak tepat dasar hukum dan filosofi yang diterapkan oleh penegak hukum untuk menjerat proyek bioremediasi sebagai kasus korupsi.

“Tidak ada kritikan dari masyarakat untuk proses hukum kasus bioremediasi ini karena orang sudah masuk dalam opini gerakan anti korupsi.” Justru Mudzakkir menyesalkan kenapa hukum pidana juga larut dalam gerakan ini sehingga mengakibatkan proses penegakan hukum tidak ada kritik dan kontrol yang signifikan sehingga proses hukum kasus bioremediasi berjalan terus.

Dalam diskusi yang sama, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menuturkan, kriminalisasi dalam kasus bioremediasi harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pasalnya, berdasarkan pemantauan dan penyidikan Komnas HAM, telah terjadi pelanggaran HAM, diskriminasi, dan konspirasi aparat penegak hukum, dalam proses hukum kasus bioremediasi.

Dalam situasi seperti ini, kata Pigai, mestinya Presiden yang bisa memberikan keadilan, dan melindungi warga negaranya dari kriminalisasi. Namun selama Presiden diam, maka jajaran pemerintah yang lain pun akan diam. “Padahal jelas dalam kasus ini banyak sekali aturan Kementerian Lingkungan Hidup yang dilanggar Kejaksaan. Mestinya pemerintah protes,” kata Pigai lagi.

Ia pun melanjutkan, jika nantinya hingga tingkat kasasi para korban kriminalisasi tidak kunjung mendapat keadilan, dan tidak juga mendapat perlindungan dari pemerintah, maka mereka bisa membela hak-haknya ke Mahkamah Internasional. “Kami siap membantu jika mereka mengadu ke tingkat internasional, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas rekomendasi Komnas HAM,” tegasnya.

Tahun Politik

Dihubungi terpisah, Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengaku memahami bahwa tahun ini adalah tahun politik. Apa pun yang diucapkan pejabat negara, selalu akan dikaitkan dengan Pemilu dan Pilpres. Sehingga SKK Migas tidak heran dengan sikap pemerintah, yang terkesan diam saja melihat kriminalisasi terhadap kegiatan bioremediasi, yang merupakan pencederaan terhadap kontrak kerjasama migas.

Saat ini, ujarnya, fokus SKK Migas adalah bagaimana dapat terus mengawal dan mengayomi kontraktor, untuk menjalankan usaha dan target-target yang ditetapkan pemerintah. “Kita sudah berjuang terus untuk menggapai apa yang menjadi sasaran sektor migas setiap tahunnya. Adanya kasus bioremediasi kami anggap sebagai bagian dari pengalaman pahit yang pernah dihadapi sektor hulu migas,” tuturnya.

Untuk membenahi kondisi ini, Elan mengaku pihaknya sangat berharap pada segera diselesaikannya revisi UU Migas 22/2001. Dengan UU Migas yang baru, diharapkan ada kesepakatan baru dengan para pihak yang terkait, tentang bagaimana sektor hulu migas ini akan dikelola ke depan, untuk kepentingan bangsa. Yakni terbentuknya regulasi migas yang pro rakyat dan bangsa sesuai UUD 1945, yang tentu saja melindungi hak-hak pekerja migas.  

Dalam tanggapan yang dikirimkan Sabtu, 8 Februari 2014, Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan, menegaskan kembali bahwa proyek bioremediasi CPI telah dikonfirmasi oleh pejabat dari lembaga pemerintah berwenang sebagai proyek yang telah taat hukum serta diawasi dan disetujui oleh pemerintah.

“Oleh karena itu, kami akan terus mendukung sepenuhnya upaya karyawan dan kontraktor kami untuk memperoleh keadilan dalam proses hukum ini dan membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Sudah sangat jelas bahwa selama persidangan lalu, tidak ada bukti tentang kerugian negara dan pelanggaran pidana dalam proyek ini,” ungkap Dony.

“Justru hidup para karyawan CPI dan kontraktor kami sebagai bagian SDM Migas telah berubah selamanya atas ditetapkannya mereka sebagai tersangka korupsi meskipun pengadilan tidak dapat menunjukkan bukti kerugian negara dan tindak pidananya. Semoga proses banding yang sedang dijalani oleh mereka saat ini dapat melahirkan keadilan dan segera memulihkan hak-hak mereka,” tegas Dony.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)