JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang akan mewajibkan setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) untuk menyediakan satu unit nozzle gas dinilai tidak akan efektif jika tanpa dukungan insentif dari pemerintah. Pasalnya untuk membangun nozzle gas di SPBU, biaya yang dibutuhkan tidak murah.

Ryrien Marisa Manager CNG and City Gas PT Pertamina (Persero), mengungkapkan untuk mengoperasikan fasilitas BBG tidak hanya dibutuhkan nozzle, tapi juga berbagai peralatan dan teknologi penunjang tambahan, seperti scrubber, dryer, kompresor dan berbagai alat lain untuk memastikan compressed natural gas (CNG) sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan untuk menjadi BBG.

“Untuk masuk kendaraan harus memenuhi speksifikasi.  Untuk bersihkan itu, butuh scrubber, dryer, kompresor. Kalau nanti alat-alat tambahan ini disiapkan kira-kira butuh Rp 17 miliar, itu tanpa lahan,” kata Ryrien disela acara 11th Natural Gas Vehicles and Infrastructure Indonesia Forum dan Exhibition 2017 di Jakarta, Selasa (14/3).

Menurut Ryrien, melihat biaya yang dibutuhkan untuk menyediakan nozzle gas yang sangat besar, belum tentu semua SPBU menyediakan fasilitas tersebut, Apalagi untuk menambah nozzle termasuk berbagai infrastruktur pendukungnya butuh lahan minimal seluas 200 meter persegi. Padahal tidak semua SPBU memiliki lahan yang luas.

Tantangan lainnya adalah terletak pada biaya pengadaan stok CNG. Harga BBG yang dipatok pemerintah saat ini dinilai tidak dapat memenuhi nilai keekonomian para pelaku usaha, karena biaya yang ada sekarang belum termasuk dengan biaya angkut CNG.

Sejak 2010, harga BBG ditetapkan sebesar Rp 3.100 per liter setara premium (lsp).

Pertamina telah berulangkali memberikan usulan untuk menaikan harga BBG agar memenuhi nilai keekonomian, namun tetap tidak mendapatkan restu dari pemerintah.

“Jadi Rp 3.100 per lsp  itu gas dialirkan melalui pipa jika mengunakan truk diangkut dari SPBG besar ke daughter station ada biayanya. Siapa yang nanggung, kan pakai bahan bakar, biaya driver yang kurang lebih Rp 1.500 per lsp. Jadi kalau mau disuplai dengan truk Rp 3.100 ditambah Rp 1.500,” ungkap Ryrien.

Dia menambahkan, harga keekonomian BBG yang wajar adalah dikisaran Rp 4.500-Rp 5.000 per lsp. Masalahnya, jika dipatok setinggi itu, selisihnya harga BBM dengan BBM beroktan 88, yakni premium tidak terlalu jauh.

“Tapi kan nanti jadi masalah untuk menarik minat karena selisihnya sedikit. Jadi kami, Pertamina tunggu kebijakan pemerintah,” tukas Ryrien.

Dukungan Stakeholder

Selain pemerintah, dukungan stakeholder seperti pelaku usaha transportasi juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan konversi BBM ke BBG. Salah satu andalan penjualan CNG Pertamina saat ini adalah armada bus Transjakarta terus mengalami penurunan konsumsi BBG. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang membolehkan Tranjakarta kembali menggunakan bahan bakar solar.

Selain itu, perusahaan pembuat manufaktur bus-bus Transjakarta juga tidak menyanggupi permintaan bus berbahan bakar CNG.

Menurut Ryrien, Transjakarta menjadi satu-satunya andalan penyerapan BBG dengan serapan konsumsi yang sempat mencapai 3,8 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) yang setara dengan 44 juta liter pada 2016. Namun kini serapannya rata-rata hanya mencapai 2,8 MMSCFD.

“Tahun lalu 1.200 unit pakai gas, tahun ini hanya 800 unit. Tahun depan bakal berkurang lagi. Alasannya juga karena manufakturnya tidak sanggup untuk mengadakan sebanyak yang mereka butuhkan dan harga bus CNG yang lebih mahal daripada solar,” papar Ryrien.

Menurut Ryrien, kewajiban untuk menyediakan satu unit nozzle gas di setiap SPBU tidak akan berjalan lancar jika tidak ada kebijakan tambahan berupa insentif, baik kepada pelaku usaha ataupun kepada masyarakat melalui penyediaan converter kit.

“Makanya nanti kita akan minta kebijakan tambahan tidak bisa hanya mengeluarkan kebijakan SPBU harus ada disenpenser gasnya, tidak akan jalan,” tandas Ryrien.(RI)