JAKARTA – Upaya pemerintah untuk mengajak seluruh stakeholder untuk bersama-sama mengimplementasikan peraturan baru di bidang energi baru terbarukan (EBT), khususnya panas bumi, dianggap belum dapat meningkatkan minat para investor. Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan saat ini pemerintah berupaya membuat berbagai macam regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, termasuk soal bonus produksi.

“Ini terlihat jelas pemerintah sedang berupaya untuk mendapatkan hak yang harus dipenuhi oleh pengembang panas bumi. Hak ini tentu saja sebagai tambahan penerimaan negara bukan pajak dari panas bumi,” kata Surya Darma kepada Dunia Energi, Kamis (20/4).

Surya Darma menyayangkan jika upaya tersebut tidak diimbangi dengan langkah atau strategi untuk menarik keekonomian usaha dari panas bumi yang penuh risiko bisnis, teknis dan risiko lainnya.

“Sebaiknya, jika hal ini dilakukan, maka ada upaya memberikan insentif yang dapat meningkatkan daya tarik keekonomian panas bumi,” ungkap dia.

Menurut Surya Darma, yang kontras adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2017 yang mengandung banyak kontradiksi dalam perhitungan harga energi dari EBT dan tidak pro pada panas bumi. Serta tidak sejalan dengan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Permen 12 dinilai lebih banyak mendiscourage investasi bidang panas bumi dan EBT dibandingkan dengan daya tarik investasinya. Harga EBT malah ditetapkan harus lebih rendah dari energi fosil yang sesungguhnya berbeda dengan kaidah umum dalam semangat mengembangkan energi terbarukan.

Surya Darma mengatakan EBT dan panas bumi pada umumnya diberikan insentif agar dapat bersaing dengan energi fosil.
“Karena itulah METI sudah menyampaikan usulan kepada Mentri ESDM untuk mengkaji ulang Permen 12/2017. Tetapi, kayaknya belum mendapat jawaban yang tepat dan sesuai dengan harapan stakeholders,” kata dia.

Menurut Surya Darma, Menteri ESDM terkesan enggan mengkaji ulang. Hal ini terlihat dari belum adanya pihak stakeholder yang diajak berdiskusi untuk mencari solusinya. Bahkan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga sudah menyampaikan pandangan yang sama dengan METI yang menyayangkan terbitnya Permen tersebut karena berdampak sangat signifikan terhadap investasi sektor EBT yang sedang digalakkan oleh pemerintah.
“Kadin (Kamar Dagang dan Industri) mengusulkan agar Permen 12/2017 tersebut dikaji dan dicabut,” tukas Surya.
Sejalan dengan hal itu, METI juga sudah melakukan beberapa kali diskusi bersama pemangku kepentingan di EBT yang berkesimpulan perlunya memberikan usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi Permen tersebut dan dibatalkan pemberlakuannya. Saat ini, METI sedang memfinalkan usulan tersebut ke Presiden yang nantinya akan disertai dengan penyampaian “buku putih” dengan beberapa usulan perubahan kebijakan dan regulasi yang memayunginya.
“Bagi METI dan seluruh asosiasi bidang EBT sangat berharap agar ada kajian mendalam yang dilakukan untuk melihat Permen 12 dan Permen 10/2017 yang sangat tidak berpihak untuk memberikan daya tarik bagi pengembangan panas bumi dan EBT lainnya,” ujar Surya Darma.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2016 tentang Besaran dan Tata Cara Pemberian Bonus Produksi Panas Bumi dan PP Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2014. Selain itu, Menteri ESDM juga sudah menandatangani dua Peraturan Menteri (Permen) bidang panas bumi, yaitu Permen Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Limbah Lumpur Bor dan Serbuk Bor Pada Pengeboran Panas Bumi, Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2017 tentang Rekonsiliasi, Penyetoran dan Pelaporan Bonus Produksi Panas Bumi, serta Permen Nomor 44 tentang Bentuk dan Tata Cara Penempatan Serta Pencairan Komitmen Eksplorasi Panas Bumi.

Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menekankan agar pemerintah senantiasa menerapkan aturan yang jelas dan tetap mempertimbangkan faktor keekonomian.

“PP28/216 , PP 7/2017, Permen 21/2017 dan 23/2017 merupakan turunan atau juklak dari UU 21/2014. Tentunya peraturan ini untuk memperjelas UU 21/2014, dan memang ditunggu oleh para investor. Investor berminat bila aturannya jelas, sustain dan harganya mencapai keekonomiannya. Apabila salah satu faktor tidak dipenuhi, investor akan lari,” tandas Abadi.(RA)