JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang meminta PT PLN (Persero) untuk meninjau ulang seluruh kontrak yang sudah menandatangani kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) berpotensi  membuat iklim investasi kembali memburuk. Pasalnya yang dinamakan dengan kontrak maka sudah memiliki landasan hukum yang sangat kuat dan sudah mengikat di antara kedua pihak.

Atrhur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), mengungkapkan jika berpegang pada prinsip “sanctity of contract” secara hukum kontrak yang sudah di tandatangani kedua belah pihak sudah merupakan kesepakatan yang mengikat dan secara hukum seharusnya dihargai kedua belah pihak yang sudah sepakat.

“Itu sudah tertuang secara tertulis di dalam kontrak dan sudah punya landasan hukum. Kalau proyek sudah ditandatangani kontraknya, seharusnya tidak bisa ditinjau ulang. Karena kontrak sudah sah secara hukum,” kata Arthur kepada Dunia Energi, Jumat (17/11).

Jika kontrak tersebut ditinjau kembali akan berdampak pada iklim investasi. Sebab kondisi ini membuat ketidakpastian investasi kembali meningkat,  khususnya bagi perusahaan swasta atau investor yang menggarap pembangunan pembangkit tersebut.

Dengan begitu, peninjauan ini akan menimbulkan kesan aturan dan perjanjian yang mudah berubah-ubah. “Ini sebagai sesuatu yang membuat khawatir,” tukas Arthur.

Salah satu lingkup tinjauan yang diminta pemerintah adalah agar PLN disarankan untuk melakukan negosiasi terhadap harga jual listrik dari pembangkit paling tinggi sebesar 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat.

Langkah pemerintah mengevaluasi harga dinilai terlambat. Karena seharusnya peninjauan kontrak dilakukan sebelum perjanjian jual-beli diteken. “Pertanyaannya, kenapa tidak dikaji atau tinjau sebelum PPA diteken? Ya, buat apa ada kontrak PPA kalau sewaktu-waktu bisa diubah,” ungkap Arthur.

Permintaan tersebut ditujukan untuk seluruh PPA pembangkit listrik dengan kapasitas besar yang dibangun di Pulau Jawa dan belum memasuki tahap konstruksi atau belum mendapatkan surat jaminan Kelayakan Usaha (SKJU) dari Kementerian Keuangan.

Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN,  mengatakan evaluasi terhadap PPA akan menyasar pada pembangkit yang belum mulai tahapan konstruksi, termasuk pembangkit yang masih mengalami kendala non teknis.

Ada dua pembangkit yang sudah dalam tahap evaluasi yakni ke PLTU Jawa 3 berkapasitas 1.200 Megawatt (MW) dan PLTU Cirebon Expansion 2 dengan kapasitas 1.000 MW. PLN melobi agar IPP pembangun pembangkit menjual listriknya dengan harga di bawah US$ 6 sen per kWh.

Untuk Cirebon Expansion, PLN klaim sudah mencapai kesepakatan dengan IPP.

“Kita targetkan dibawah US$ 6 sen semua yang dijawa itu dibawah US$ 6 sen. Besaran US$ 5,5 sen tinggal satu (PLTU Jawa 3) kami optimis bisa tercapai,” kata Iwan.(RI)