JAKARTA – Kebijakan larangan ekspor mineral mentah (ore) dianggap memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menata kembali praktik pertambangan yang berkesinambungan, yang tidak saja mengutamakan jumlah produksi, tetapi juga nilai tambah dari mata rantai industri pengolahan dan pemurnian (smelter) yang memberikan efek ganda terhadap perekonomian, pelestarian lingkungan, dan masyarakat lokal.
Uka Wikarya, Peneliti Senior LPEM Universitas Indonesia, mengatakan larangan ekspor harus diikuti dengan implementasi program hilirisasi mineral secara komprehensif.

“Pelarangan ekspor yang tidak diikuti hilirisasi adalah omong kosong. Jika ingin berdampak lebih besar bagi ekonomi lokal, pelibatan pekerja lokal, sumber daya lokal, dan partner bisnis lokal menjadi salah satu pintu masuk peningkatkan perekonomian daerah,” kata Uka di Jakarta, Kamis (15/12).

Uka menuturkan, ekspor mineral mentah bauksit dari praktik pertambangan ilegal pada 2013 mencapai 40 ribu ton. Sedangkan pada 2015, ekspor ilegal bauksit diindikasikan mencapai 27 juta ton
“Potensi penerimaan negara yang hilang dari ekspor ini mencapai Rp 290 miliar,” kata Uka.

Kebijakan larangan ekspor bauksit terbukti mendorong adanya pendirian sejumlah industri pengolahan bijih bauksit di dalam negeri. Hal ini berdampak positif terhadap ekonomi, antara lain nilai ekonomisnya meningkat menjadi 13,6 kali lipat.
Satu ton bauksit dengan harga US$40, setelah diolah menjadi 650 kilogram alumina bisa dihargai sekitar US$208. Dan, apabila diolah kembali, akan menghasilkan 325 kilogram aluminium dengan harga sekitar US$546 atau lebih tinggi 2,6 kali dari harga alumina.
Menurut Uka, dengan mengasumsikan semua cadangan bauksit di Kalimantan Barat yang diolah menjadi alumina, output perekonomian yang dihasilkan bisa lebih tinggi 1,38 kali dibandingkan dengan tanpa pengolahan. Nilai tambah bruto meningkat 1,38 kali, pendapatan per kapita naik 1,28 lebih tinggi, dan perluangan lapangan kerja naik sekitar 1,87 lebih tinggi.
“Dampak ekonomi yang maksimal dari keberadaan smelter tersebut bakal semakin besar apabila produknya diserap industri dalam negeri untuk diolah lebih lanjut hingga menjadi barang akhir,” ujar Uka.

Lebih lanjut menurut dia, pengembangan industri berbasis bauksit tersebut membutuhkan dukungan penuh pemerintah dalam hal penyediaan infrastruktur transportasi, pasokan listrik, regulasi yang mendukung, peta jalan industri hulu hilir, dan insentif.
Sukhyar, Ketua Asosiasi Smelter Indonesia, menekankan konsistensi pemerintah sangat penting untuk industri berbasis mineral.
“Industri tambang harusnya menjadi bagian dari industri nasional. Sebaiknya yang membangun smelter dapat insentif fiskal,” tandas Sukhyar.(RA)