JAKARTA – PT Saka Energi INDONESIA,  anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk yang bergerak di sektor hulu migas menbenarkan kondisi force majeure atau kahar di Lapangan Kepodang, Blok Muriah, Jawa Tengah.

Tumbur Parlindungan, Presiden Direktur Saka Energi, menegaskan kondisi force majeure bukan berarti aliran gas dari Lapangan Kepodang akan segera habis, melainkan suatu kondisi dimana pasokan gas tidak dapat memenuhi kebutuhan sesuai perjanjian yang telah disepakati.

Dengan kondisi force majeure maka berbagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini Petronas Carigali Muriah Ltd selaku operator blok, Saka Energi,  PT Kalimantan Jawa Gas,  selaku operator pipa , dan PT PLN (Persero) harus mendiskusikan ulang kontrak suplai gas. Serta pinalti yang harus dibayarkan produsen gas,  apabila tidak dapat memenuhi target produksi yang disepakati

“Gasnya masih ada cuma dia tidak bisa memenuhi target karena volumenya tidak sesuai tapi karena sudah ada perjanjiannya jadi dikatakan force majeure untuk supaya duduk bersama negosiasi pinaltinya,” kata Tumbur kepada Dunia Energi, Jumat (11/8).

Saka Energi melalui Saka Energi Muriah Ltd  memiliki saham 20% dan berpartner dengan Petronas Carigali dengan saham 80% di lapangan tersebut.
Gas Lapangan Kepodang selama ini dialirkan untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tambak Lorok milik PLN.

Lapangan Kepodang baru diproduksi pada akhir Agustus 2015. Petronas dan PLN  telah memiliki Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) hingga 2026.  Petronas saat ini masih melakukan kajian sisa umur dari Lapangan Kepodang.

“Sedang direview Petronas kemungkinan besar bisa lebih dari  2019,” ungkap Tumbur.

Lebih lanjut Tumbur menjelaskan dalam perjanjian awal Lapangan Kepodang harus bisa memasok minimal 90% dari total produksi yang saat ini rata-rata mencapai 120 MMSCFD. Kondisi saat ini yang bisa dipasok rata-rata hanya sekitar 70%- 80% volume yang di targetkan dalam kontrak.

Adapun penurunan produksi yang terjadi menurut Tumbur disebabkan kondisi subsurfaces lapangan tidak sesuai dengan perkiraan awal yang diketahui dalam rencana pengembangan (plan of development/PoD).

Tumbur mengatakan deklarasi force majeure penting untuk bisa dilakukan proses negosiasi dalam besaran pembayaran pinalti. Meskipun dalam kondisi force majeure maka pasokan masih bisa tetap berjalan sambil menunggu kesepakatan baru terbentuk melalui amendemen kontrak.

“Ada negosiasi ulang dalam kontrak tadi dimana ada kondisi sekarang. Itu metodelogi supaya bisa duduk bareng caranya untuk negosiasi declare dulu force majeure, kalau tidak force majeure bisa lebih rugi justru,” tandas dia.(RI)