J

Upaya penyelamatan pekerja Freeport yang terjebak di reruntuhan tambang bawah tanah Big Gossan.

AKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk ikut serta mengusut dugaan penguasaan lahan secara ilegal di wilayah suku Amungme, selama kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia.

Natalius Pigai, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, mengatakan telah terjadi dugaan perampasan hak atas masyarakat asli berupa tanah secara sewenang-wenang, baik oleh pemerintah maupun Freeport sehingga harus ada kompensasi, baik berupa uang atau kepemilikan berupa saham dalam pengelolaan anak usaha Freeport-McMoRan Inc itu di masa yang akan datang.

“Hari ini kami sampaikan hasil pemantauan dan penyelidikan sejak 2014. Pemantauan untuk menjawab apakah pemerintah dan Freeport pernah membayar transaksi jual beli atas tanah yang dimiliki warga Amungme di wilayah Amungsa. Kalau pernah, berapa nilainya, siapa notarisnya, dan hasilnya kami sampaikan kepada Menteri ESDM, Kementerian Agraria, dan kami minta bukti otentik transaksi jual beli,” kata Natalius di Jakarta.

Menurut Natalius, keadaan yang terjadi saat ini diharapkan jadi koreksi secara keseluruhan atas praktek pola penambangan, tidak hanya di Freeport tapi diseluruh Indonesia. Dalam catatan Komnas HAM praktik penambangan masih banyak yang tidak menghormati HAM.

“Dengan demikian, ini momentum negara untuk menjadikan HAM jadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penambangan di Indonesia. Kami akan backup pak menteri dan jajaran untuk menjadikan penambangan Indonesia jadi lebih ramah,” paparnya.

Natalius menambahkan kelanjutan perundingan dengan Freeport ke depannya pemerintah harus juga melibatkan serta mempertimbangkan posisi masyarakat Papua. Karena selama ini masyarakat asli sering tidak dianggap. Ini dibuktikan dengan tidak adanya bukti transaksi jual beli yang sudah diklaim dilakukan Freeport, namun tidak dapat ditunjukkan buktinya.

“Jadi kami titip, elemen hak masyarakat agar jadi bagian tidak terpisahkan dalam perundingan,” kata dia.

Permasalahan Freeport Indonesia dengan pemerintah bermula saat terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang menyebutkan apabila perusahaan ingin mendapatkan izin ekspor konsentrat, perusahaan tersebut diwajibkan untuk mengubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Freeport enolak untuk merubah statusnya menjadi IUPK karena merasa klausul kontrak yang ada dalam IUPK tidak memiliki jaminan kepastian seperti pada kontrak karya.

Freeport McMoran Inc., induk perusahaan Freeport, kemudian memberikan waktu 120 hari kepada pemerintah untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan antara Freeport dengan pemerintah. Jika dalam waktu 120 hari perbedaan-perbedaan tersebut tidak terselesaikan, Freeport akan menempuh jalur arbitrase.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengungkapkan pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan masalah Freeport secara menyeluruh, tidak hanya permasalahan kegiatan operasi serta negosiasi kewajiban divestasi namun juga hubungan perusahaan dengan masyarakat asli Papua.

“Kita harus selesaikan ini secara menyeluruh. Kalau pertanyaan apa penyelesaian melibatkan masyarakat sekitar, tanah adat dan lain-lain, jawabannya iya. Penyelesaian meyeluruh mengenai saham harus dalam koridor divestasi. Yang ditawarkan pertama kali kan pemerintah pusat, kemudian pemda, BUMN, BUMD, swasta nasional, baru IPO. Jadi penyelesaiannya kita lihat dari urutan tadi,” tegas Arcandra.(RI)