JAKARTA – Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman menilai ada something wrong (sesuatu yang salah) dari etika Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Sudharmawatiningsih, dalam mengadili dan menjatuhkan vonis bagi para terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.

Penilaian itu diungkapkan Eman, usai menerima pengaduan keluarga dua terpidana kasus bioremediasi Chevron, Ratna Irdi Astuti  dan Sumarti di kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2013. Ratna adalah istri Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia yang divonis 5 tahun penjara. Sedangkan Sumarti adalah istri Herlan bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya yang divonis enam tahun penjara oleh Majelis Hakim dalam kasus bioremediasi.  

Baik Ratna maupun Sumi (sapaan Sumarti) mengadukan vonis Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Sudharmawatiningsih, terhadap suami mereka dalam kasus bioremediasi Chevron. Green Planet Indonesia dan Sumigita Jaya adalah kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi yang telah membuahkan PROPER Biru selama dua periode berturut-turut.

Didampingi kuasa hukumnya, Ridho Wati, Ratna dan Sumi menyampaikan kekecewaannya atas vonis majelis hakim yang dinilai tidak adil dan mengabaikan fakta-fakta hukum selama persidangan. Ada beberapa poin yang disampaikan dalam pertemuan tersebut.

Pertama, mereka merasa ada perlakukan yang diskriminatif terhadap tersangka dalam kasus bioremediasi. Selain Ricksy dan Herlan yang merupakan vendor (kontraktor) dalam kasus bioremediasi ada 4 tersangka lain yang merupakan karyawan Chevron. Namun sejak proses awal pemeriksaan, Ricksy dan Herlan sudah ditahan. Sementara tersangka dari Chevron dibolehkan pulang.

“Sejak awal proses (peradilan) ada perlakuan yang tidak adil, diskriminatif. Kami sudah meminta penangguhan penahahanan tetapi ditolak oleh majelis hakim,” ujar Nur Ridho mewakili kedua istri terdakwa dihadapan Ketua Komisi Yudisial.

Selain itu, dalam menghadirkan saksi selama persidangan, Jaksa penuntut Umum (JPU) diberikan waktu 4 bulan untuk menghadirkan saksi, sementara terdakwa hanya dikasi waktu 1 minggu untuk menghadirkan saksi dengan persidangan selama 4 kali setiap pekan, dengan waktu sidang yang sampai larut malam. Kondisi ini, tentu menyulitkan menghadirkan saksi seperti yang diharapkan.

Beberapa saksi sudah sempat dihadirkan, meski dalam waktu yang sangat mepet. Diantaranya sejumlah pakar hukum pidana, ahli dari BPKP, dan ahli bioteknologi. Pihak terdakwa sebenarnya ingin menghadirkan saksi ahli bioremediasi, karena kasus tersebut berkaitan dengan proyek bioremediasi, namun permintaan mereka tidak dikabulkan oleh majelis hakim.

“Kami juga minta hakim untuk bisa melakukan peninjauan lapangan, tempat pelaksanaan bioremediasi, tetapi tidak digubris,” kata Nur. Selama pengaduan, Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman menemui dan mendengarkan langsung penuturan istri dan keluarga Ricksy serta Herlan.

Usai menerima pengaduan, Eman menuturkan bahwa kasus bioremediasi Chevron ini merupakan kasus aktif, yang masih memungkinkan pihak terpidana untuk melakukan upaya hukum yang lebih tinggi atau melakukan upaya banding. Eman mengakui, dalam persidangan kasus bioremediasi ini banyak ditemukan kejanggalan sehingga Komisi Yudisial akan memberikan perhatian yang lebih serius.

Lebih lanjut ia mengatakan, dari informasi yang disampaikan keluarga terpidana, ada indikasi yang tidak beres dengan hakim. Apalagi, dalam keputusan tersebut ada hakim anggota yang tidak mufakat dengan keputusan tersebut sehingga melakukan dissenting opinion.

“Kami punya kewenangan untuk membaca dokumen dan data-data selama persidangan, adakah perilaku busuk hakim. Dari informasi yang disampaikan, saya melihat ada something wrong (sesuatu yang salah, red) dengan etika hakim,” tegasnya.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)