Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kembali menegaskan, Kejaksaan Agung tidak boleh jalan sendiri dalam menyidik dugaan tindak pidana dalam kasus bioremediasi.

Asisten Deputi Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) KLH, Wirjono Koesmodihardjo menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam menyidik dugaan tindak pidana lingkungan, setiap intansi baik kepolisian maupun kejaksaan harus bekerjasama atau berkoordinasi dengan KLH. Tak terkecuali dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.  

“Tujuannya adalah agar dalam memproses hukum kasus ini dilakukan secara benar. Jadi dalam menetapkan dakwaan jaksa harus minta petimbangan KLH. Artinya harus ada gabungan penyidikan,” papar Wirjono dalam diskusi “Kasus Lingkungan Hidup vs Produksi Migas Nasional” yang digelar Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS)  di Jakarta, Sabtu, 29 Juni 2013.

Wirjono mengingatkan, dalam UU 32/2009 gabungan penyidikan ini telah diatur, agar tidak terjadi kesalahan proses hukum. Karena dalam kasus-kasus lingkungan, ada sejumlah ketentuan teknis, yang tidak semua penyidik diluar KLH memahaminya.

“Sesuai dengan UU, kalau ada pelanggaran lingkungan, itu ada gabungan penyidikan, diatur dalam bab penyidikan. Kemudian alat bukti yang diperoleh sebagai hasil dari penyidikan gabungan, diserahkan ke jaksa penuntut umum,” jelasnya lagi.

Wirjono pun mengungkapkan, kasus bioremediasi Chevron ini pun tergolong luar biasa, karena tanpa koordinasi atau gabungan penyidikan dengan KLH, vonis sudah sempat dijatuhkan oleh hakim. Yaitu terhadap Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri, dan Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo. “Hal ini langsung disikapi oleh Sekretaris Kabinet (Setkab),” ujarnya.

“Begitu ada putusan terhadap kasus bioremediasi, yakni yang dijtuhkan untuk PT GPI dan Sumigita, langsung Setkab memanggil semua, jadi sebelum ini tidak ada putusan yang sampai Setkab turut campur,  karena ada hal diluar kebiasaan,” tutur Wirjono.

Menurut dia, ada dua kali pertemuan untuk membahas kasus tersebut. Pertemuan pertama melibatkan PT CPI. Pertemuan kedua antara Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), KLH, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Pada pertemuan tersebut, Menteri Sekretaris Kabinet, Dipo Alam meminta klarifikasi Jaksa Agung Basrief Arief, mengapa menjadikan Edison Effendi sebagai saksi kasus bioremediasi. Basrief beralasan, Kejaksaan Agung telah memilih dan menseleksi dari berbagai universitas, kemudian terpilihlah Edison dari Universitas Trisaksi (Usakti) serta dua orang saksi lainnya, diantaranya dari Malang.

Jawaban tersebut mengagetkan Menteri Dipo. Kemudian karena Dipo alumnus Universitas Indonesia, yang kebetulan ada juga alumnus dari almamaternya yang menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi, maka Dipo menanyakan, mengapa Kejaksaan Agung tidak mengambil saksi dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian ESDM, yang juga mempunyai pakar bioremediasi.

“Dijawab Jaksa Agung, “kami tidak lihat dari siapa pengadu, tapi melihat dari substansi”,” ucap Wirjono menirukan jawaban Basrief Arief. Saksi ahli yang digunakan Kejaksaan Agung sangat kontroversial, karena fakta menunjukkan Edison pernah dua kali kalah tender proyek bioremediasi Chevron. Sehingga, seperti dilaporkan pula oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Edison tidak obyektif, sarat konflik kepentingan, dan tidak layak memberikan keterangan sebagai ahli.

BPKP Anulir Hasil Audit BPK  

Selain adanya saksi ahli Edison Effendi, lanjut Wirjono, kontroversi kasus bioremediasi Chevron ialah pada pernyataan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang juga sangat membingungkan.

BPKP menyebut ada dugaan kerugiaan negara atas proyek bioremediasi tersebut. Pernyataan BPKP ini sangat bertentangan dengan hasil audit Badan Pemerisa Keuangan (BPK) periode 2003-2012, yang tidak menemukan adanya penyimpangan dalam proyek bioremediasi Chevron.

 “Apa iya hasil audit berkala bisa dipatahkan secara sesaat?,” tukasnya. Ia pun menceritakan, BPKP pernah meminta data ke KLH. Saat itu, Deputi IV KLH, Masnelyati Hilman menyatakan bahwa perizinan bioremediasi Chevron tidak ada masalah. “Bu Neli (Masnelyati) juga jelaskan, proses izin adalah perpanjangan,”  tuturnya.

Masnelyati saat itu juga menerangkan, kalau itu perpanjangan, maka tidak diperlukan proses baru untuk mengurus izin tersebut. “Kami hanya lihat, apakah ketentuan-ketentuan itu sudah dilaksanakan, dan apakah teknologinya bisa digunakan, yang salah satunya untuk mnurunkan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) pada tanah?,” ujar Wirjono.

Selain itu, apakah teknolgi yang digunakan tersebut tidak menjadi masalah bagi lingkungan? “Itu kunci. Selain itu, ada syarat yang belum dipenuhi karena ada aturan kebijakan ketentuan baru, yakni setiap kegiatan harus dilengkapi dokumen lingkungan. Itulah kenapa, saat perpanjangan (izin pelaksanaan bioremediasi Chevron) prosesnya agak lama,” terang Wirjono

KKKS Migas Cemas

Pada kesempatan yang sama, Indra Mulya Budiman dari Indonesian Petroleum Association (IPA) menyatakan,  kasus bioremediasi membuat para pelaku industri minyak dam gas bumi (migas) sangat prihatin. “Perusahaan migas cenderung menahan diri dalam operasional, sembari menunggu perkembangan kasus ini,” ujarnya.

Menurut dia, kasus bioremediasi akan berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya,  para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mempertanyakan kekuatan  hukum kontrak di bidang migas. Akibat kriminaliasi terhadap kasus bioremediasi Chevron, KKKS akan mempertimbangkan untuk melakukan produksi, karena setiap produksi perlu dilakukan pengolahan limbah.

Seharusnya, kata Indra, dalam sistem kontrak bagi hasil migas atau production sharing contract (PSC) sudah ada tata kelola, berupa kontrak antara KKKS dengan SKK Migas yang mewakili pemerintah. Dalam tata kelola PSC juga terdapat mekanisme koreksi dan audit terhadap program kerja yang telah diajukan.

“Kasus bioremediasi membuat  IPA berpikir, apakah untuk pengerjaan proyek  di dunia migas diperlukan izin juga dari Kejaksaan Agung sebagai wakil pemerintah?,” tukas Indra.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)