JAKARTA – Revisi Undang-Undang (UU) mineral dan batu bara (minerba) disinyalir akan memberi ruang relaksasi ekspor konsentrat. Bahkan, berpotensi menghapuskan kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral mentah. Padahal, UU minerba merupakan salah peraturan yang sangat vital untuk menentukan arah kebijakan pemerintah menuju kedaulatan energi.

“Relaksasi ekspor konsentrat hanya akan mempercepat habisnya sumber energi bangsa dan kemudian kita akan menjadi bangsa yang krisis energi,” kata Ferdinand Hutahean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Jumat (2/9).

Dia menekankan agar menteri tidak hanya berpikir dari sisi pengusaha dan harus bisa menjadikan komoditas tambang sebagai penghasil devisa atau uang.

Kebijakan pembangunan smelter, harus dilakukan secara serius. Ada baiknya pemerintah menjadi leader dalam pembangunan smelter dengan cara membangun smelter secara komunal.

“Mestinya saat ini, pemerintah menyusun konsep secara kompeherensif yaitu pemanfaatan sumber daya alam seluruhnya untuk kebutuhan energi masa depan. Bukan berpikir ekspor supaya dapat cash secara instan,” tandas Ferdinand.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya dinilai telah melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan minerba dengan memberikan rekomendasi izin ekspor konsentrat yang ke-5 bagi PT Freeport Indonesia. Pemberian izin tersebut berdasarkan pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2016.

Berlandaskan Permen 5/2016, pemerintah tercatat telah memberikan perpanjangan izin ekspor konsentrat Freeport Indonesia berlaku mulai 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2017, dengan kota ekspor 1,4 juta ton.

“Seharusnya menteri yang baru harus melihat juga, apakah aturan (Permen 5/2016) itu masih sesuai dengan Undang-Undang Minerba? Kalau melanggar UU, harus di blok dulu,” kata Inas Nasrullah Zubir, Anggota Komisi VII DPR RI saat rapat dengan Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Kamis (1/9).

Izin ekspor mineral hasil pengolahan (konsentrat) diberikan apabila ada kemajuan kemajuan smelter. Namun ketentuan tersebut hilang seiring dicabutnya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2014 dan diganti oleh Permen 5/2016.

Pasal 10 ayat 3 di Permen 5/2016 menyatakan apabila pembangunan smelter tidak mencapai target maka perpanjangan izin ekspor dapat diberikan dengan tingkat emajuan pembangunan smelter dinilai sama dengan capaian periode sebelumnya. Evaluasi kemajuan smelter dilakukan per enam bulan seiring dengan periode ekspor konsentrat.

Sesuai Permen 11/2014, perpanjangan izin ekspor diberikan jika kemajuan smelter per enam bulan mencapai target minimal 60%. Dalam beleid 5/2016 memang ada ketentuan target 60% , namun diberi dispensasi pada pasal 10 ayat 3. Namun jika di Permen 11/2014 memberi reward and punishment, di Permen 5 tidak ada punishment.(RA)