JAKARTA – Pelaku industri kembali menagih janji pemerintah untuk menurunkan harga gas bagi industri menjadi maksimal US$ 6 per MMBTU. Sejak ditetapkan pada 2016 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi hingga kini masih belum dilaksanakan maksimal.

Acmad Widjaja, Wakil Komite Tetap Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan ketegasan pemerintah tentu dipertanyakan dengan belum terealisasinya penurunan harga gas. Padahal, regulasi penurunan harga gas ditetapkan sendiri oleh pemerintah.

“Presiden perlu mengambil tindakan ke pembantu-pembantu (menteri) beliau. Baru Perpres 40/2016 bisa efektif, seperti BBM satu harga,” kata Achmad kepada Dunia Energi, Senin (22/1).

Dia menambahkan ketegasan presiden diperlukan untuk mengkoordinasi diantara kementerian yang bertanggung jawab dalam membuat mekanisme untuk menurunkan harga gas. Selama ini koordinasi antara menteri terkait bisa dikatakan lemah karena setiap upaya penurunan harga pasti berakhir dengan jalan buntu.

Dalam Perpres Nomor 40 disebutkan dalam hal harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari US$ 6  per MMBTU, nenteri (ESDM) dapat menetapkan harga gas bumi tertentu.

Penetapan harga gas bumi yertentu sebagaimana dimaksud diperuntukkan bagi pengguna gas bumi yang bergerak di bidang industri pupuk;  industri petrokimia; industri oleochemical; industri baja; industri keramik; industri kaca; dan industri sarung tangan.

Sejauh ini baru tiga industri yang menerapkan harga gas sesuai dengan  Perpres, yakni baja, pupuk dan  petrokimia.

Achmad mengatakan selama ini Menteri Koordinator Perekonomian tidak berkoordinasi dengan baik dengan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM serta Kementerian BUMN, apalagi jika membahas tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai salah satu elemen yang bisa mengubah dan menurunkan harga gas.

“Sehingga industri jadi korban menuju tercapainya pertumbuhan ekonomi. Kunci di koordinasi serta keberanian menko perekonomian dalam implementasikan Perpres 40 milik Presiden Jokowi,” ungkap dia.

PNBP, lanjut Achmad, seharusnya bisa dihilangkan dan diganti dengan sumber penerimaan lain. Apabila industri semakin berjalan baik maka negara bisa mendapatkan nilai tambah dari pajak dan komponen penerimaan lain.

“PNBP kan bisa diganti dengan pajak penambahan nilai, bangkitnya penjualan dan lain sebagainya yang menjadi income negara,” ungkap dia.

Kementerian ESDM sendiri sebenarnya sudah mengusulkan adanya pengurangan PNBP.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, sebelumnya mengungkapkan Kementerian ESDM sudah mempresentasikan dampak dari pengurangan PNBP terhadap penurunan harga gas, namun ternyata hasil dari kajian penurunan PNBP dinilai tidak signifikan dampaknya.

“Kisaran PNBP ada US$ 0,7 per MMBTU dan ada yang berapa, kecil di bawah US$1. Baru usul. Kami bersepakat agar Kementerian  Perindustrian mengajukan data yang bisa mendukung apakah pengurangan PNBP itu sebenarnya atraktif apa tidak,” kata Arcandra.(RI)