JAKARTA – Pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) kembali menghadapi tantangan berat menyusul surat PT PLN (Persero) yang berisi peringatan kepada perusahaaan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) untuk segera mengajukan jaminan bank sebagai bagian proses perjanjian setelah menandatangani jual beli listrik (Power Purchase Agrement/PPA).

Berdasarkan surat peringatan yang diterima Dunia Energi, Kamis (1/3) disebutkan, berdasarkan Pasal 3 butir 3.1 Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL), perjanjian berlaku efektif setelah penjual menyerahkan jaminan pelaksanaan dan IUPTLS paling lambat 30 hari penandatangan perjanjian yang dituangkan dalam berita acara.

Yang dimaksud dengan 30 hari itu, setelah perusahaan menandatangani PPA listrik yang sudah dilakukan  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tahun lalu.

Dalam surat itu juga disebutkan, dengan tidak terpenuhinya Pasal 3 butir 3.1 sesuai dengan poin 1, maka perusahaan yang belum menyerahkan jaminan pelaksanaan (jaminan Bank) dianggap telah wanprestasi atau cidera janji. Akibat dari hal itu, PLN dapat memutus perjanjian berdasarkan Pasal 19 butir 19.4 PJBL tentang hak-hak lain dan upaya huku,

“Serta dapat sanksi blacklist berdasarkan peraturan Direksi No. 0069.P/DIR/2017,” ungkap surat tersebut.

Riza Husni, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), saat dikonfirmasi mengungkapkan, sejak awal proses perjanjian antara para pengembang dengan PLN sudah kadung tidak sesuai proses perjanjian yang biasanya terjadi.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian  ESDM meminta para pengembang melakukan tandatangan PPA listrik, padahal saat itu para pengembang belum mendapatkan surat jaminan bank.

Riza menyatakan Menteri ESDM pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang merupakan tentang penjualan listrik kepada PLN dengan menggunakan mata uang dolar AS bukan rupiah. Namun ditengah jalan, menteri merubah itu dengan transaksi penjualan listrik memakai rupiah.

“Pak Menteri pertama di SK memberikan tarif dolar AS, namun
berubah pikiran dan saat ini maunya dalam rupiah. Tentunya pengembang keberatan untuk menyerahkan jaminan bank selagi masih rupiah,” kata Riza saat dikonfirmasi Dunia Energi, Jumat (2/3).

Menurut Riza, negosiasi kondisi kontrak baru seharusnya ditandai dengan penyerahan jaminan bank baru kemudian tanda tangan. Sementara yang terjadi pemerintah berkeinginan ada tanda tangan dulu, baru negosiasi kontrak.

“Nah sekarang kan belum sepakat. Harusnya dibicarakan klausul klausul kontrak agar bisa disesuaikan. Setelah sepakat (termasuk konsultasi dengan bank yang akan biayai) baru serahkan jaminan bank. Kalau bank tidak sepakat danai percuma saja serahkan jaminan bank. Bahkan jaminan kami bisa di sita PLN. Lebih repot,” tegas Riza.

Dia menambahkan pendanaan sampai sekarang memang masih menjadi permasalahan utama para pengembang dalam membangun pembangkit. Kondisi sekarang ini juga berbeda dengan skenario yang dijanjikan pemerintah. Pada awal diminta tanda tangan pemerintah bahkan sempat menjanjikan adanua pinjaman untuk mendukung pembangunan.

“Dulu janjinya kalau tanda tangan (PPA) akan ada loan dua persen . Sekarang malah diancam mau di blacklist,” kata Riza.

Tohari Hadiat, Kepala Divisi EBT PLN saat dikonfirmasi perihal surat tersebut mengaku bahwa surat itu merupakan kewenangan yang bisa dilakukan oleh PLN wilayah.

Dia menegaskan bahwa jaminan pelaksana atau jaminan bank tersebut memang diperlukan sebagai syarat efektif PPA berlaku. “Ya kalau tidak diserahkan, PPA-nya belum efektif,” tegas Tohari.

Tohari mengatakan pengembang swasta dan general manager PLN di wilayah bisa membahas lebih lanjut kontrak jika memang ditemui masalah dalam memenuhi syarat kontrak.

“Ya itu (surat peringatan) kan yang tanda tangan PPA dari wilayah, ya kewenangan wilayah untuk memberikan jenis teguran atau peringatan, ” tandas Tohari.(RI)