JAKARTA – Kompetensi ahli pertambangan asal Indonesia diyakini tidak kalah dan siap untuk bisa mengelola pertambangan besar dan diklaim paling rumit di dunia, termasuk yang dikembangkan PT Freeport Indonesia di tambang Graberg, Papua.

Pemerintah selama ini seakan memandang sebelah mata kemampuan para ahli tambang nasional, sehingga seringkali  menyebut kehadiran Freeport di tambang Grasberg teramat penting, serta mustahil melanjutkan pengembangan tanpa keterlibatan perusahaan asal Amerika Serikat itu.

Kerumitan tambang Grasberg, apalagi tambang bawah tanahnya benar adanya, namun bukan berarti kompetensi ahli pertambangan Indonesia tidak mumpuni untuk mengelola.

Budi Santoso, Ketua Working Group Etika Keprofesian Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), mengatakan selama ini pemerintah selalu  mempertanyakan kesiapan kompetensi para ahli tambang untuk mengelola tambang Grasberg.

Dia meyakini kompetensi para ahli tambang nasional memenuhi syarat untuk bisa mengelola tambang Grasberg. Ini ditunjukkan banyaknya perusahaan tambang kelas kakap dunia mempekerjakan ahli tambang asal Indonesia.

Justru pertanyaan harusnya disampaikan ke pemerintah, yakni apakah pemerintah Indonesia dengan birokrasinya siap menangani tambang sebesar Freeport.

“Hampir semua BUMN kalah dengan swasta karena persoalan birokrasi. Kalau birokrasi BUMN diterapkan di Freeport, kita akan ditertawakan negara lain. Makanya kami balikin, apakah pemerintah siap dengan sistem birokrasinya,” kata Budi dalam diskusi PERHAPI bersama awak media di Jakarta, Kamis (4/10).

Dia menuturkan apabila sistem pengelolaan oleh pemerintah sebagai pemegang saham terbesar melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum kepada Freeport sama saja dengan yang diterapkan BUMN lainnya yang sarat dengan kepentingan maka akan terjadi ketidakstabilan setiap saat.

“Ini resep yang harus direview, direksi BUMN kalau tidak cocok dengan menterinya itu diganti. Direksi Freeport itu puluhan tahun, jadi tidak bisa misalnya karena menteri tidak suka, partai tidak suka itu (direksi), lalu diganti. Jadi pertanyaan dikembalikan dengan pemerintah, bukan profesionalnya,” papar Budi.

Selain itu, ada suatu pandangan yang keliru di masyarakat yang seharusnya tidak dibiarkan pemerintah. Anggapan bahwa menguasai mayoritas saham Freeport Indonesia berarti serta merta menjadikan Indonesia kaya adalah pandangan keliru.

Budi menegaskan kepemilikan saham mayoritas belum menjamin keuntungan pasti didapatkan dan akan langsung dirasakan masyarakat. Hal pertama yang harus dilakukan adalah transisi. Indonesia memiliki kesempatan berdaulat di area tambang Freeport dengan menjadi operator. Butuh waktu untuk transisi, tapi seharusnya tidak perlu memakan waktu terlalu lama. Transisi itupun bukan berarti pembelajaran pengelolaan tapi lebih kepada transisi kontrak-kontrak dengan para perusahaan atau kontraktor penunjang.

“Pandangan setelah Freeport dikuasai kita harus lebih kaya, ini yang harus dikoreksi. Kepemilikan mayoritas belum menjamin. Kecuali dengan mayoritas tadi keberpihakan ke kepentingan nasional berpihak,” ungkap Budi.

Tino Ardhyanto, Ketua Umum PERHAPI, mengatakan kehadiran sumber daya manusia Indonesia perlu ditingkatkan di seluruh lini, termasuk dalam pengelolaan tambang Freeport.

PERHAPI memastikan bahwa tenaga kerja pertambangan Indonesia sudah mampu untuk mengelola kegiatan pertambangan di Indonesia, termasuk tambang Grasberg di Papua. Saat ini hampir seluruh lini kegiatan di Freeport Indonesia dikerjakan orang Indonesia.

Sebagai organisasi profesional dengan anggota yang memiliki keragaman pengalaman dalam berbagai kegiatan pertambangan, PERHAPI siap untuk mendukung pemerintah dan Inalum dalam pengelolaan tambang Grasberg.

“Tidak perlu ada keraguan akan kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk melaksanakan kegiatan operasional pertambangan sekelas Grasberg,” tegas Tino.(RI)