JAKARTA –  Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan  Freeport-McMoRan Inc melalui anak usahanya, PT Freeport Indonesia dinilai tidak memberikan keuntungan bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, poin-poin kesepakatan perundingan mengandung masalah.
Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, mengatakan sejumlah masalah tersebut antara lain pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU  Minerba).
UU Minerba menyebutkan IUPK dapat diberikan melalui penetapan wilayah pencadangan negara (WPN) yang harus disetujui DPR. IUPK pun diprioritaskan diberikan kepada  BUMN.
“Masalah berikutnya, pembangunan smelter merupakan kewajiban lama Freeport yang di waktu yang lalu pun dijanjikan Freeport untuk dibangun, toh hingga detik ini pun tidak terbangun,” kata Redi.
Masalah lainnya, pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya kontrak karya (KK) merupakan kebijakan yang sesungguhnya merugikan bagi Indonesia karena tanpa membeli saham divestasi pun maka pada 2021 atau setelah KK berakhir maka wilayah eks Freeport menjadi milik pemerintah Indonesia.
Selain itu, dalam kontrak karya perpanjangan 1991 sudah ada kewajiban divestasi saham Freeport yang harusnya pada 2011 sudah 51% dimiliki pemerintah. Namun faktanya hingga saat ini kewajiban divestasi 51% ini tidak juga direalisikan Freeport.
“Hasil perundingan ini malah bentuk mengukuhan kembali Freeport untuk mengeksploitasi SDA Indonesia yang kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia sangat rendah. Pemerintah sekarang pun menjadi pewaris potensi masalah Freeport sebagaimana tahun 1967 dan 1991 ketika Orde baru mewariskan masalah Freeport kepada generasi saat ini,” tandas Redi.
Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), mengatakan terlepas dari detail kesepakatan pemerintah dengan Freeport, kemajuan perundingan antara keduanya patut diapresiasi. Para pihak dapat menemukan titik temu yang krusial.
“Sekarang mendetailkan masalah divestasi dengan harga berapa dan bagaimana menghitungnya,” ujar Budi.
Selain itu, pengelolaan tambang Grasberg oleh Freeport ke depan dan bagaimana smelter tersebut dibangun dan apakah termasuk dalam paket 51% atau kesepakatan lain.
“Pemerintah jangan sampai terjebak oleh porsi 51% tetapi benefit masalah kompetensi nasional dan supply kebutuhan nasional juga terlindungi,” kata dia.(RA)