JAKARTA – Pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas diharapkan dapat menciptakan sinergi, efisiensi dan efektivitas pengelolaan industri migas nasional. Pembentukan holding juga akan meningkatkan leverage, value dan kapasitas investasi korporasi ke depan.

“Holding BUMN ini pun harus berkembang, bukan saja menjadi perusahaan migas, tetapi menjadi perusahaan energi yang terus membesar. Holding BUMN diharapkan akan mampu menyediakan kebutuhan energi yang terus meningkat secara berkelanjutan, serta siap bersaing di kancah global,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS di Jakarta belum lama ini.

Pembentukan holding BUMN migas diimplementasikan melalui penggabungan PT Perusahaan Gas Negara Tbk ke dalam PT Pertamina (Persero). Hal ini ditandai dengan penyerahan 57% saham PGN yang dikuasai pemerintah melalui Kementerian BUMN ke Pertamina.

Sayang pembentukan holding BUMN migas tidak serta memberi kuasa penuh ke Pertamina sebagai induk  usaha. Justru anak usaha Pertamina, PT Pertamina Gas (Pertagas) yang akan diakuisisi PGN.

Pemerintah melalui PP Nomor 6 Tahun 2018 pada Februari 2018 yang lalu, Kementrian BUMN telah memutuskan akan mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan PGN melalui skema akuisisi. Proses akuisisi Pertagas ditargetkan selesai pada Agustus 2018.

Kementerian BUMN menyebut ada tiga opsi skema konsolidasi Pertagas dan PGN yang dapat ditempuh, yakni merger, inbreng (penyerahan atas saham) Pertamina di Pertagas ke PGN, dan akuisisi saham Pertagas oleh PGN.

Menurut Marwan, seharusnya konsolidasi Pertagas-PGN tidak hanya dibatasi untuk harus memilih satu dari ketiga skema/opsi dan hanya mempertimbangkan aspek dana dan waktu.

“Kepentingan strategis negara dan publik sesuai konstitusi harus menjadi pertimbangan utama,” tandas Marwan.(RA)