JAKARTA – Ketahanan energi yang dicita-citakan diyakini tidak akan tercapai jika pengelolaannya masih dipengaruhi berbagai kepentingan politik. Hal itu bisa dilihat langsung dengan jalan ditempatkannya berbagai proyek strategis sektor energi yang ada di Indoesia.

Muhammad Said Didu, pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN, mengatakan kondisi maju mundurnya proyek kilang Pertamina menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kepentingan politik menjadi rintangan terbesar dalam mewujudkan ketahanan energi.

Pada awal proyek kilang diluncurkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ditunjuk untuk memimpin tim guna bernegosiasi dalam kerja sama dengan pemerintah Arab Saudi dalam proyek kilang. Tapi ditengah perundingan yang ingin dimulai, tiba-tiba Sudirman Said diminta pulang kembali ke Indonesia. Padahal diwaktu yang sama Presiden Joko Widodo sedang berada di Rusia untuk membicarakan pula masalah proyek kilang.

“Presiden ke Rusia, lalu di Timur Tengah minta dibatalkan perundingannya. Itu yang merusak, jangan heran raja Arab Saudi marah (saat itu),” kata Said dalam diskusi bertajuk Ketahanan Energi Terancam di  Jakarta, Senin (17/12).

Saat ini proyek Kilang Cilacap belum ada titik terang. Pembentukan perusahaan patungan belum juga terlaksana. Beda pendapat terkait perhitungan aset selalu dijadikan alasan PT Pertamina (Persero) maupun pemerintah yang menyebabkan belum ada tindak lanjut proyek kilang.

Contoh kasus lain yang melibatkan kepentingan politik dalam proyek energi adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1. Pembangunan pembangkit listrik bertenaga batu bara dengan nilai investasi ditaksir mencapai US$900 juta itu dihentikan karena terjerat kasus korupsi.

Kasus suap PLTU Riau 1 melibatkan Eni Saragih, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Muhammad Alhadzik, Bupati Temanggung terpilih serta pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.

Menurut Said, terjatuhnya proyek PLTU Riau 1 dalam kubangan korupsi sudah terlihat sejak awal digulirkannya proyek.

Dalam tender awal, PT Bukit Asam Tbk   seharusnya menjadi perusahaan yang paling sesuai dengan kualifikasi tender. Tapi anehnya lanjut Said, Bukit Asam tidak pernah dinyatakan sebagai pemenang tender. Justru perusahaan lain yang dinyatakan sebagai pemenang.

Perusahaan lain yang terjerat kasus korupsi PLTU Riau 1 adalah PT Samantaka Batubara. Samantaka merupakan anak usaha Blackgold Natural Resources yang rencananya menjadi pemasok batu bara untuk proyek PLTU Riau 1.

“PLTU Riau 1 Bukit Asam kalah terus, sudah dua kali tender tidak dimenangkan, ternyata ada permainan dibalik layar,” tegas Said.

Menurut Said, harus ada perubahan pola pikir dalam mengambil kebijakan di sektor energi. Apabila pengelolaan sektor energi masih seperti sekarang ini maka jangan harap ketahanan energi akan terwujud.

“Selama energi dijadikan alat politik dan tempat obyektifkan kepentingan subyektif, lupakan ketahanan energi,” kata Said.(RI)