JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menyebut keuntungan negara yang diperoleh dari produksi gas melalui Kilang Floating Liquified Natural Gas (FLNG) Blok Masela yang dibangun di tengah laut (offshore) mencapai US$51 miliar. Sementara itu, pendapatan negara yang diperoleh jika kilang di bangun di darat (onshore) hanya sebesar US$39 miliar dalam jangka waktu 24 tahun.

“Ada gap US$12 miliar disana. Proyeksi kami seharusnya US$12 miliar tersebut bisa diberikan untuk rakyat Maluku,” ujar Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas saat rapat kerja dengan DPD RI di Jakarta, Senin.

Menurut Amien, pembangunan fasilitas produksi migas di darat membutuhkan ketersediaan lahan yang luas hingga ratusan hektar. Selain juga membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar.

“Salah satu pulau yang diproyeksikan untuk wilayah onshore adalah Pulau Babar, butuh 7.000 tenaga kerja, Padahal jumlah penduduknya hanya hanya 5.000 jiwa. Selain itu, ketika selesai dibangun akan kilang darat membutihkan pekerja  hingga 10.000 tenaga kerja, konflik antara pribumi dan pendatang dikhawatirkan bisa terjadi,” ungkap dia.

Amien mengatakan proyek pengembangan Blok Masela merupakan proyek lama yang dengan kontraknya sudah ditandatangani sejak 1998. Namun sejak ditemukan cadangan gas yang besar pada 2000 hingga kini belum juga berproduksi.

“Bahkan menurut kajian kami pada 2024 baru on stream dan rakyat Maluku baru merasakan uang dari Masela pada 2025. Itu waktu yang sangat lama, sementara sekarang masih juga belum diputuskan skema pembangunannya,” katanya.

Nono Sampono, Anggota DPD RI, mengatakan awal permasalahan Blok Masela terletak di regulasi yang berlaku saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

“Ujung muaranya ada di UU No 22 Tahun 2001. Selama ini kita tersandera oleh UU tersebut. Dengan merevisi regulasinya negara bisa dengan cepat menentukan langkah-langkah kebijakan yang pro rakyat,” ungkap dia.(RI)