JAKARTA- Janji Kementrian ESDM untuk memberikan insentif untuk bisa mengekspor bijih kepada pengusaha bauksit tak kunjung terealisasi. Akibatnya, sejak Januari lalu , 51 perusahaan bauksit merumahkan 4.500 karyawan. “Pengusaha sudah putus harapan. Insentif untuk bisa mengekspor bijih bauksit seperti dijanjikan pejabat Kementrian ESDM tak akan terealisasi,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I).Erry Sofyan dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu

Dalam catatan Dunia-Energi, janji itu diucapkan Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo dalam berbegai kesempatan bertemu dengan pengusaha bauksit tanah air. Wamen ESDMmenegaskan , selama perusahaan berkomitmern membangun pabrilk pengolahan, pemerintah akan membolehkan perusahaan untuk mengekspor bijih besi sampai selesainya pembangunan smelter tersebut

Dengan garansi tersebut, beberapa perusahaan segera menunjukkan keseriusan membangun smelter, Tapi dalam perkembangan pada Januari 2014 atau batas waktu kewajiban pengolahan di dalam negri seperti tercatum pemberlakukan UU NO 4 Tahun 1999 tentang Mineral dan Batubara, bauksit tetap tidak diizinkan diekspor

Akibat pelarangan itu, menurut Ery sekitar 10 juta ton produksi bauksit tak bisa diapa-apakan. Produksi bauksit Indonesia mencapai 65 juta ton. Akibat tak bisa mengekspor, perusahaan pun kesulitan dana . Akibatnya sejumlah proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit terancam terhenti .

APB3I berharap pemerintah memberikan kelonggaran ekspor bijih bauksit hingga akhir 2017 hingga proyek “smelter” alumina bisa beroperasi. Menurut Erry , pemerintah mesti melihat kebijakan pelonggaran ekspor bijih bauksit tersebut dalam jangka panjang. “Kalau ‘smelter’ ini jadi, maka puluhan ribu karyawan tambang bauksit dan ratusan ribu tenaga kerja ikutan lainnya akan mendapat pekerjaan kembali,” katanya.

Erry mengatakan, saat ini terdapat lima perusahaan yang membangun “smelter”, masing-masing .
PT Well Harvest Winning Alumina Refinery sudah berjalan 30 persen.
“Mereka sudah membangun pondasi pabrik dan akan mulai pemancangan pembangunan pembangkit listrik dan pelabuhan,” katanya. Perusahaan tersebut sudah mengeluarkan investasi Rp1,5 triliun dari rencana Rp11 triliun.

Lalu, “smelter” yang dibangun PT Bintang Alumina juga sudah 30 persen. Sedang, tiga ‘smelter’ lainnya milik Nusapati Group, PT Fajar Mentaya Abadi, dan Gesit Group baru tahap pembebasan lahan dan kini terhenti. Menurut dia, ketiga perusahaan tersebut khawatir melanjutkan ke tahap selanjutnya yakni peletakan batu pertama (ground breaking), sementara pendanaannya belum pasti.”Kalau tidak ada kepastian ekspor, bagaimana mendanai proyek ke depan,” ujarnya.

Erry juga menambahkan, kelonggaran ekspor bisa diberikan dengan persyaratan ketat seperti sudah mempunyai studi kelayakan, ada lahannya, dan melakukan “ground breaking”. “ Persyaratan lain sudah mengeluarkan investasi proyek hingga 10 persen yang juga sebagai syarat mendapatkan ‘tax holiday’ (pembebasan pajak) dari BPKM dan menyetor jaminan proyek,” ujarnya.

Selanjutnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Perindustrian melakukan pengawasan terhadap progres “smelter”. “Kalau tidak ada progres misalkan dalam tiga bulan, maka izin ekspor dicabut dan uang jaminan masuk kas negara,” katanya.

Ia juga mengatakan, pihaknya sanggup membayar bea keluar atas ekspor bijih tersebut. APB3I juga berpendapat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan pelarangan ekspor bijih mineral. “Apalagi, penerapan peraturan di bawah UU tersebut juga terlambat, sehingga pengusaha tidak mempunyai persiapan yang cukup membangun ‘smelter’,” ujar Erry. **