JAKARTA – Kementerian Perindustrian menemukan kejanggalan dalam penerapan implementasi Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 434/K/12/MEM/2017 yang mengharuskan harga gas sampai di industri di Medan maksimal sebesar US$ 9,95 per MMBTU yang berlaku per 1 Februari 2017.

Dyah Winarni Poedjiwati, Staf Ahli Menteri Bidang Sumber Daya Industri Kementerian Perindustrian, mengungkapkan dari hasil penelusuran di lapangan ternyata ditemukan  pengenaan harga yang berbeda jika ada penambahan kuota pada biaya penggunaan pipa distribusi yang dioperasikan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.

“Bisa sampai US$ 10,28 per MMBTU kalau meminta tambah kuota,” kata Dyah saat ditemui seusai Forum Group Discussion yang digelar di Kementerian Perindustrian, Selasa (17/10).

Dalam Kepmen sebenarnya telah ditetapkan  penurunan biaya dari hulu hingga hilir untuk membentuk harga baru saat ini. Sebelum ditetapkan dalam Kepmen biaya pipa distribusi adalah sebesar US$ 1,35 per meter kubik, kini setelah Kepmen biayanya seharusnya dipatok US$ 0,9 per meter kubik.

Selain mengenakan pengenaan biaya yang berbeda dari Kepmen jika meminta kuota tambahan, para konsumen juga dikenakan surcharge sebesar 120% dari harga yang ditetapkan (US$ 9,95 / MMBTU) jika ada aliran gas yang melebihi kuota.

Menurut Dyah, kondisi tersebut sangat disayangkan karena beban dari industri yang seharusnya dikurangi untuk bisa meningkatkan nilai tambah dan daya saing justru makin meningkat dengan harga gas yang masih tinggi. Apalagi tidak ada produk hukum pasti yang mengatur perbedaan harga karena tidak sesuai dengan keputusan pemerintah.

Kementerian Perindustrian juga sudah mendapatkan laporan banyak industri, termasuk di kawasan industri di Medan seperti industri oleochemical, baja, karet, kaca yang sudah mulai merugi,  bahkan gulung tikar akibat harga gas yang tinggi.

“Ada Permen ESDM,  keputusan harga gas disitu (Medan) tapi dilapangan kok ada tambahan. Banyak yang mati industri di Sumatera. Mereka menekan cost sampai pakai cangkang sawit (untuk bahan bakar),” ungkap Dyah.

Selain dari sisi harga,  kondisi yang sering terjadi juga adalah terkait kontinuitas ketersediaan gas yang tidak stabil.

“Pasokan yang diperoleh seringkali bukan gas, melainkan angin,” tukas dia.

Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB),  mengatakan kondisi di Medan dan sekitarnya sangat jauh dari apa yang diharapkan setelah adanya berbagai kebijakan pemerintah mulai dari Perpres Nomor 40 Tahun 2016, Instruksi Presiden hingga Kepmen ESDM Nomor 434 Tahun 2017.

“Misalnya Unilever yang merupakan investor mereka disana dijanjikan akan mendapatkan energi (murah), makanya mereka bangun disana tapi nyatanya mereka dapat harga mahal,” tegas Safiun.

Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas membenarkan adanya pengenaan biaya tambahan jika aliran gas tidak sesuai dengan kuota.

Sri Wahyu Purwanto, Kasubdit Pengaturan Akun, Tarif dan Harga Gas Bumi melalui Pipa BPH Migas, mengungkapkan kondisi yang terjadi di Medan merupakan hal biasa terjadi dalam industri perniagaan gas. Adanya surcharge atau biaya tambahan sebagai pendisiplinan bagi industri yang menyerap gas melebihi kuota yang ditetapkan.

“Ini common (biasa) terjadi dimanapun. Tujuannya untuk mendisplinkan konsumen agar tidak melebihi kuota,” kata dia.(RI)