JAKARTA – Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) telah melaksanakan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan yakni grading, washing, screening, namun tidak memiliki kemampuan untuk membangun industri berbasis mineral bauksit.

“Para pengusaha tambang bauksit selama ini jika tetap dipaksakan pembangunan industri alumina atau aluminium oleh pemegang IUP, maka yakin hal tersebut tidak akan terwujud,” ujar Erry Sofyan, Ketua APB3I di Jakarta.

Erry meminta pemerintah untuk menaruh perhatian yang lebih besar pada industri hilir. Pasalnya sana sangat penting untuk tersedianya road map Industri berbasis mineral logam.

“Peningkatan nilai tambah telah dilaksanakan oleh pemegang IUP sesuai UU Minerba, sudah seharusnya hilirisasi dimulai dan dilakukan oleh Kementerian Perindustrian,” kata dia.

Sudewo, Ketua DPP Partai Hanura, mengatakan peningkatan nilai tambah dipertambangan tidak dapat diistilahkan dengan hilirisasi. Jika ditelaah lebih jauh mengenai peningkatan nilai tambah itu sebenarnya telah dilakukan oleh perusahaan tambang.
“Peningkatan nilai tambah di penambangan adalah kegiatan pengolahan sesuai dengan ilmu pertambangan,” kata dia.
Menurut Sudewo, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bertanggung jawab pada bagian hulu, yakni peningkatan nilai tambah di penambangan yang dilakukan dengan cara grading, washing, sizing atau pencampuran untuk batu bara. Kemudian kegiatan pemurnian bagi kontrak karya adalah pemurnian mineral logam sesuai dengan pasal 95 huruf b.
Namun tidak bisa hanya berhenti di sana. pemerintah juga harus memastikan produk smelter dalam negeri terserap oleh industri dalam negeri juga. Oleh karenanya dibutuhkan industri manufaktur berbasis mineral logam. Dan untuk mewujudkan itu, Kementerian Perindustrian memiliki peran yang sangat penting dan inilah yang dinamakan dengan hilirisasi.
“Dari sana kita akan bisa lihat kata hilir atau kata penghiliran, menuju ke hilir atau hilirisasi bisa bermakna menuju ke ujung, menuju akhir, proses dibagian ujung,” ungkap Sudewo. Hal ini tentu menjadi tugas dan tanggungjawab Kementrian Perindustrian.
Hasil pengolahan di sektor pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP diperlukan untuk mewujudkan industri logam dasar, yang mana kegiatan industri ini diluar dari kegiatan pertambangan. Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut pengelolaan industri logam dasar pada sektor lain.
Saat ini investor smelter mayoritas dikuasai oleh asing, sehingga berakibat hasil output smelter di Indonesia juga tetap dijual ke Cina, Jepang atau Korea Selatan, seperti produk smelter nikel yakni nikel matte atau ferronikel yang diekspor ke Negara-negara tersebut.
“Kemudian kita mengimpor lagi dalam bentuk produk jadi yang sudah pasti lebih mahal. Jika kita ingin mendapatkan nilai tambah yang lebih besar lagi maka harus dibangun industri hilir yang siap mengolah produk smelter,” ungkap Sudewo
Dengan adanya industri hilir, pemerintah dapat mengurangi impor barang jadi berbasis mineral logam dan memperkokoh perekonomian negara. Industri logam dasar adalah awal dari progam hilirisasi yang berbasis mineral logam, dan hingga kini belum diatur lebih lanjut sektor yang berwenang membuat regulasi.

“Jika dibagian hulu Kementerian ESDM sudah melaksanakan program peningkatan nilai tambah, selanjutnya saya mendorong pemerintah untuk membuat road map pembangunan industri logam dasar untuk kedaulatan mineral logam di bawah Kementerian Perindustrian guna mewujudkan program hilirisasi,” tandas Sudewo.(ES)