JAKARTA – Finalisasi pembentukan holding badan usaha milik negara (BUMN) minyak dan gas rampung. Holding dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) ke dalam PT Pertamina (Persero) tinggal menunggu penyelesaian revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara yang saat ini sudah dikembalikan ke Kementerian Sekretariat Negara.

“Semuanya sudah siap, cuma PP 44 kan lagi direvisi. Kalau itu sudah jadi, awal 2017 bisa. Secara teknis sudah oke sekali,” kata Aloysius Kiik Ro, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam seminar Understanding Value Creation Process of Holding BUMN di Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (21/12).

Menurut Aloysius, selama ini sinergi antar BUMN belum berjalan optimal karena terbukti masih banyak mata rantai industri migas, terutama di sektor gas masih terputus. Holding migas harus memiliki esensi menjadikan perusahaan baru yang terbentuk nantinya besar kuat dan lincah.

”Itu dalam arti semua keputusan jika dipusatkan di holding urusan banyak bisa selesai, kita bicara strategic issue,” ungkapnya.

Edwin Hidayat Abdullah, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata, Kementerian BUMN, mengungkapkan pembentukan holding migas memiliki urgensi yang sangat penting karena diharapkan bisa menekan panjangnya alur dan proses pengelolaan gas di tanah air yang dikuasai dua BUMN, Pertamina dan PGN.

Sinergi dua perusahaan dipastikan akan menyatukan kekuatan bisnis tengah dan hilir, terutama dalam transmisi gas yang dikuasai PGN.

“Untuk bisnis hulu atau produksi gas selama ini sangat dipahami Pertamina,” tukasnya.

Menurut Edwin, selama ini praktek tata kelola gas di Indonesia cukup liberal karena Pertamina bisa menjual gas melalui trader dan gas tersebut akan dibeli anak usaha PGN yang selanjutnya disalurkan ke konsumen. Dengan adanya holding praktek seperti itu diharapkan bisa dihindari.

Selain itu, peningkatan pembangunan infrastuktur juga bisa terdorong dengan adanya holding karena infrastruktur menjadi salah satu kunci untuk bisa mengoptimalisasi sumber daya gas yang konsumsinya terus meningkat.

Data Kementerian BUMN menyebutkan suplai gas nasional hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pada 2018-2019 dan 4-5 tahun ke depan diperkirakan akan mengalami defisit. Hal ini diperparah dengan sebaran infrastruktur gas yang justru terkonsentrasi di wilayah Sumatera dan Pulau Jawa. Padahal sumber gas berada di wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Menurut Edwin kondisi tersebut jelas membuat distribusi gas menjadi tidak efisien sehingga berpengaruh terhadap harga gas.

“Jadi jika bisa integrasi infrastruktur Pertamina dan PGN, maka beberapa koridor yang tadinya tidak efisien menjadi lebih efisien,” katanya.

Jika sudah terbentuk nantinya Pertamina akan mengelola strategi pasokan gas secara makro, dan eksekusi pengelolaan di hilir dilakukan PGN .

“Investasi dan infrastruktur dibawah dilakukan oleh anak perusahaan semua. Pertamina sekarang kan masih jalankan operasi, nanti dibawah PGN akan grouping dengan anak-anak usaha lainnya,” tandas Edwin.(RI)