JAKARTA – PT Freeport Indonesia dinilai tidak memiliki itikad baik untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) mineral konsentrat. Sikap anak usaha Freeport-McMoRan Inc itu yang tidak mau membangun smelter dengan alasan harus ada kepastian perpanjangan izin operasi hingga 2041, adalah bagian strategi mengulur kewajiban untuk memurnikan semua emas bebas yang diperoleh dari proses penangkapan 14 unit konsetrator Knelasen terbesar didunia.

“Penangkapan itu dilakukan menghindari emas bebas yang tidak bisa ditangkap dengan proses flotasi akan lolos bersama tailing,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI) kepada Dunia Energi, Rabu (22/3).

Dia menjelaskan, penangkapan emas yang terinklusi pada mineral sufida tembaga diperoleh melalui proses pengapungan ( flotasi ) yang menghasilkan konsentrat yang sejumlah 40 persen dari keseluruhan konsentrat yang diproduksi Freeport diproses lanjut oleh smelter PT Smelting Gresik.

Pemurnian tembaga dilakukan dengan cara elektoris , terbukti berhasil memaksimalkan konsentrat menjadi tembaga murni sebanyak 300 ribu ton per tahun dan 2.000 ton lumpur anoda per tahun. Serta unsur-unsur mineral ikutan dalam larutan konsentrat yang merupakan produk sampingan berupa gypsum untuk bahan baku pabrik semen Gresik dan asam aulfat sebagai bahan baku PT Pertokimia Gresik.

Menurut Yusri, jika diasumsikan ada dua persen kandungan emas dari lumpur anoda dari hasil proses smelter dari Smelting Gresik , maka diduga akan menghasilkan emas sebesar dua persen dikali 2.000 ton anoda lumpur atau sama dengan 40 ton emas dari 40 persen konsentrat dari total konsentrat Freeport yang diolah di smelter Gresik.

“Apabila ditambah potensi emas dari 60 persen konsentrat yang diekspor dan proses pemurniannya di smelter Jepang dan lainnya. Belum lagi ditambah emas bebas yang berhasil ditangkap oleh 14 unit konsetrator Knelson yang beroperasi di lokasi tambang Freeport, maka tak salah publik menduga-duga ada potensi emas 100 ton per tahunnya dihasilkan dari lokasi tambang Freeport,” ungkap Yusri.

Padahal deposit bijih tembaga Grasberg terbentuk pada batuan terobosan dengan batuan samping berupa batu gamping, sehingga mineral sulfida penyusun cebakan bijih tembaga porfiri Cu -Au Grasbeg terdiri dari bornit ( Cu5FeS4) , kalkosit ( Cu2S) , Kalkopirit ( CuFeS2) , digenit ( Cu2S5), dan pirit ( FeS2) , dan emas umumnya terdapat sebagai inklusi didalam mineral sulfida tembaga.

Yusri menambahkan pada beberapa bagian tubuh bijih konsentrasi emas terdapat bersamaan dengan kehadiran mineral pirit, apalagi Freeport saat ini sudah bergerak menambang ke lokasi semakin dalam dengan tambang bawah tanah.

“Karena sudah semakin dekat ketubuh batuan terobosannya, maka akan diperoleh kadar kandungan emas , tembaga dan perak lebih tinggi dibanding yang diperoleh dari bijih yang berada lebih jauh dari kontak dengan batuan terobosannya,” katanya.

Freeport Indonesia saat ini menambang di fase final tambang terbuka Grasberg, yang didalamnya mengandung tembaga dan emas kualitas tinggi (high grade). Perseroan akan menambang tembaga dan emas kualitas tinggi itu dalam periode beberapa kuartal mendatang, sebelum masa transisi mulai menambang tambang bawah tanah Grasberg Block Cave pada 2018. Perseroan menargetkan untuk memproduksi tembaga dan emas dalam jumlah besar di tambang bawah tanah. Pada 2017-2021, nilai investasi yang digelontorkan diestimasikan sebesar US$ 1 miliar (Rp 13 triliun) per tahun.

Freeport memiliki cadangan terbukti pada tambang di Papua, yakni sebesar 26,9 miliar pound tembaga dan 25,8 juta ounce emas. Jumlah cadangan tembaga Freeport di Indonesia adalah urutan ketiga setelah tambang di Amerika Utara dan Amerika Selatan. 
Sepanjang 2016, Freeport Indonesia memproduksi tembaga sebear 1,06 miliar pound, naik dibandingkan periode sama tahun sebelumnya 752 juta pound. Sementara produksi emas justru turun dari 1,232 juta ounce pada 2015 menjadi 1,061 juta once pada 2016.(RA)