JAKARTA – Pemerintah terus berupaya memacu program hilirisasi industri pertambangan melalui pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Hal ini dalam upaya mencapai sasaran pembangunan industri non-migas pada 2017 yang ditargetkan tumbuh 5,5 persen.

“Program hilirisasi industri dapat meningkatkan nilai tambah bagi sumber daya alam di Indonesia. Di Kawasan Industri Morowali misalnya, tengah mengembangkan industri smelter berbasis nikel pig iron untuk menjadi stainless steel,” ujar Haris Munandar, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, di Jakarta, Selasa (31/1).

Menurut Haris, jika pengembangan hilirisasi industri berbasis logam berjalan lancar maka Indonesia akan menghasilkan empat juta ton stainless steel pada 2018-2019 dan menjadi produsen ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Eropa.

Saat ini perkembangan hilirisasi industri berbasis logam mencakup 32 perusahaan dengan total nilai investasi US$ 16,3 miliar di 22 kabupaten/kota dan 11 provinsi.

Kementerian Perindustrian mencatat 22 industri smelter yang telah bergabung dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) dan 75 persen telah beroperasi secara komersial. Total invetasi smelter tersebut telah mencapai US$ 12 miliar dan menyerap tenaga kerja sebanyak 28 ribu orang. Perkembangan pembangunan smelter dan proses hilirisasi industri bahan dasar mineral merupakan konsekuensi positif dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Pembangunan Kawasan Industri Konawe di Sulawesi Tenggara dan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah merupakan salah satu prioritas dalam program pengembangan basis industri logam.
Kawasan industri terpadu dengan lahan seluas 2.000 hektar tersebut akan menarik investasi sebesar Rp78 triliun dan menciptakan tenaga kerja langsung sebanyak 20 ribu orang, dan tidak langsung mencapai 80 ribu orang.
Kementerian Perindustrian memfasilitasi pengembangan 14 kawasan industri di luar Pulau Jawa dalam upaya mengakselerasi cita-cita pemerintah untuk pemerataan industri dan melakukan pembangunan yang Indonesia sentris.
Sejauh ini, perkembangan pembangunan industri smelter nikel dan fasilitas pendukung lainnya di Kawasan Industri Morowali, antara lain telah beroperasinya industri smelter feronikel PT Sulawesi Mining Investment yang berkapasitas 300 ribu ton per tahun sejak Januari 2015.Pabrik ini didukung oleh satu unit PLTU dengan kapasitas 2×65 MW. Pada tahun 2015, perusahaan telah menghasilkan nickel pig iron (NPI) sebanyak 215.784,11 ton per tahun.
Selanjutnya, sejak Januari 2016, telah beroperasi industri smelter feronikel PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry dengan kapasitas 600 ribu ton per tahun dan didukung oleh satu unit PLTU berkapasitas 2×150 MW.

Pada awal 2016, perusahaan mencatatkan produksi sebanyak 193.806 ton. Sebagai tahap lanjutan dari PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry,  juga telah dilakukan commissioning testpabrik stainless steel dengan kapasitas 1 juta ton per tahun.
Selain itu, terdapat pula industri smelter feronikel PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dengan target kapasitas 600 ribu ton per tahun dan stainless steel sebanyak 1 juta ton per tahun yang tahap pembangunannya saat inimencapai 60 persen. PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome yang merupakan smelter Chrome juga masih dalam tahap pembangunan dan diharapkan pada awal 2018 pabrik ini dapat mulai berproduksi.
Industri smelter lainnya, yakni PT Broly Nickel Industry Pabrik Hidrometalurgi dengan kapasitas 2.000 ton per tahun, yang akan dikembangkan menjadi 8 ribu ton pertahun nikel murni sedang dalam uji coba produksi.
Beberapa industri smelter telah bekerja sama dengan Kemenperin dan perguruan tinggi melalui program pelatihan dan pendidikan vokasi. Pada 2015-2017, Pusdiklat Industri Kemenperin telah menyiapkan SDM sektor industri smelter sebanyak 1.200 orang.
Selain itu, telah dimulai pembangunan Politeknik Industri Logam Morowali yang memiliki program Diploma IIIBerbasis Kompetensi dan Akademi Komunitas Industri Logam Bantaenguntuk program Diploma II, yang keduanya memiliki konsep kurikulum link and matchnd8engan industri. Program Diploma II yang ditawarkan berupa program studi TeknologiPerawatan Mesin, Teknologi Listrikdan Instalasi serta Teknologi Kimia Mineral dengan kapasitas 192 orang per tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di industri pengolahan logam di wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, Kementerian Perindustrian juga menyelenggarakan pendidikan Program D I di Politeknik ATI Makassar yang hingga saat ini telah menghasilkan 293 lulusan,

“Diharapkan tahun ini smelter sudah banyak yang menghasilkan, sehingga dapat mencapai sasaran pertumbuhan industri, yaitu sumbangan terhadap perekonomian nasional, kontribusi ekspor industri terhadap total ekspor, penyerapan jumlah tenaga kerja, dan nilai tambah yang diciptakan dari luar Pulau Jawa,” tandas Haris.(RA)