kantor Kejaksaan agungJAKARTA – Seolah mengabaikan temuan hasil penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Kejaksaan Agung (Kejakgung) pada Rabu, 22 Mei 2013 tetap melanjutkan niatnya menuntut Bachtiar Abdul Fatah, dengan melimpahkan berkas karyawan PT Chevron Pacific Indonesia itu ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan (Jaksel) untuk kemudian diproses di pengadilan.

Langkah Kejakgung ini mendapat kecaman Corporate Communication Chevron Indonesia, Dony Indrawan yang menyatakan tetap yakin, tindakan Kejakgung ini telah melanggar hukum dan hak asasi Bachtiar sebagai warga negara yang merdeka.

“Putusan praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah membebaskan Bachtiar dari semua tuntutan dan statusnya sebagai tersangka. Sehingga sesuai dengan hukum di Indonesia, putusan ini seharusnya final dan mengikat, termasuk bagi Kejakgung,” ujar Dony.

Menurut Dony, semua pihak mestinya merujuk pada hukum yang berlaku ini, karena begitulah hukum dibuat untuk melindungi dan mengayomi semua warga negara. “Dengan temuan pelanggaran HAM yang sudah disampaikan Komnas HAM kemarin, mestinya penegak hukum semakin cermat dan obyektif dalam menangani kasus ini,” kata Dony lagi.  

Dony menuturkan, dirinya dan semua karyawan Chevron dan mitra kerjanya, tak terkecuali para terdakwa yang tersangkut kasus bioremediasi, merupakan pendukung penegakan hukum dan sangat anti korupsi. “Dan kami juga yakin, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tidak berarti membolehkan pelanggaran hak asasi dan hak hukum warga negara,” tandasnya.

Ia pun menegaskan kembali bahwa Pemerintah Indonesia telah menyepakati Production Sharing Contract (PSC) sebagai kontrak perdata dalam operasi minyak dan gas (migas) di Indonesia, yang menaungi proyek bioremediasi.

Dalam PSC, ada mekanisme penyelesaian sengketa dalam ranah hukum kontrak atau perdata, yang jelas dan mengikat. Namun yang terjadi, PSC Chevron telah dikriminalkan oleh Kejakgung, dengan mempidanakan karyawan dan kontraktor perusahaan migas itu, atas proyek bioremediasi yang sudah disetujui, diawasi, serta dinyatakan taat hukum oleh pemerintah.

“Ini merupakan kekerasan negara kepada warganya, seperti yang terungkap dalam temuan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM. Kami akan terus memastikan hak-hak Bachtiar dan karyawan serta kontraktor kami sebagai warga negara bisa dihormati dan dilindungi,” tegas Dony lagi.

Seperti diketahui, Bachtiar Abdul Fatah sejak 27 November 2012 telah diputus tidak bersalah, dan dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pada sidang Praperadilan. Vice President Supply Change Management (SCM) Chevron ini dinyatakan tidak terkait dengan kasus bioremediasi (pengolahan limbah bekas minyak) yang ditangani Kejakgung.

Kejakgung sempat meminta Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan praperadilan itu, tapi tidak diluluskan. Namun belakangan, Kejakgung berniat kembali menuntut Bachtiar, dan menjemput paksa serta menahan karyawan Chevron itu pada Jumat, 17 Mei 2013.

Pada Selasa, 21 Mei 2013, Komnas HAM mengumumkan hasil temuannya terkait dengan penanganan Kejakgung terhadap kasus bioremediasi Chevron. Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menyebutkan, ada empat aspek pelanggaran HAM yang dialami para terdakwa dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron oleh Kejakgung dan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Empat aspek pelanggaran HAM itu yang pertama, adalah terlanggarnya hak untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang sama. Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan semena-mena. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang jujur, adil, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata.      

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)