JAKARTA – Pemerintah dianggap berlarut-larut dalam menegakkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terkait penyelesaian perundingan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang konsentrat anak usaha Freeport McMoRan Inc. asal Amerika Serikat.

“Proses renegosiasi berjalan dengan elitis, tidak mengikutsertakan kelompok masyarakat yang terdampak di Freeport,” kata Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), di Jakarta.

Masyarakat Adat Independen dari Papua melalui perwakilannya Roni Nakiaya menyatakan pemerintah Indonesia sebaiknya menghentikan dulu kegiatan tambang Freeport Indonesia, kemudian melakukan evaluasi menyeluruh.

Arkilaus Baho, Peneliti Yayasan PUSAKA, mengatakan kegiatan penambangan Freeport telah mengepung dan mempersempit ruang hidup masyarakat Papua yang berada di sekitar wilayah tambang emas terbesar di dunia tersebut.

“Kegiatan penambangan di atas ketinggian 4.000 meter diatas sumber air Aghawagon-Otomona-Ajkwa telah menimbulkan gangguan bagi masyarakat di bagian bawah penambangan,” ungkap Arkilaus.
Dari 1,3 miliar metrik ton bijih tembaga yang digali antara 1987-2014, hanya 1-1,5 persen mineral yang dianggap bernilai, selebihnya sebanyak 97 persen dibuang ke sistem air Ajkwa.
Arkilaus mengatakan, akibat kegiatan penambangan Freeport Indonesia antara 1987 2014, hutan mangrove seluas 138 kilometer dan lahan pertanian telah kehilangan vegetasi.
“Pembuangan limbah tambang lebih dari 120.000 ton per hari ke Sungai Ajkwa, telah membuat daerah muara sungai dan pesisir mengalami timbunan logam berat,” kata dia.
Tumpukan material halus tersuspensi telah meningkat empat kali lipat hingga ke 10 km Laut Arafura.
Sejak 1998, kosentrasi material tersuspensi yang mengandung logam berat ini lebih dari 40 g/m3, tingkat konsentrasi yang secara langsung mematikan tumbuhan air dan mempengaruhi siklus reproduksi binantang tak bertulang belakang dan ikan. Aturan pemerintah Australia bagi konsentasi material tersuspensi di sungai dataran rendah dan bagian kuala dan muara adalah 20 g/m3 untuk mempertahankan kehidupan perairan yang sehat.

Pius Ginting menyatakan mengingat dampak lingkungan yang telah terjadi secara intensif dan luas ini, maka saatnya kegiatan penambangan Freeport Indonesia ditinjau ulang. Moratorium produksi untuk memulihkan daya dukung alam menjadi penting.

Menurut Pius, sebelum mengambil alih saham Freeport, pemerintah Indonesia sebaiknya memperjelas pertanggungjawaban kerusakan lingkungan dan dampaknya yang telah terjadi sejak tambang ini beoperasi hingga kini.

“Sehingga ke depan tidak ada penghindaran dari pertanggungjawaban kerusakan lingkungan hidup yang merugikan masyarakat terdampak langsung dan ekosistem,” tandas Pius.(RA)